Dalam Perempuan-perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX, Peter Carey dan Vincentius Johannes menyebutkan bahwa anak perempuan di Keputren dididik untuk hanya perlu peduli tentang kecantikan mereka.
Mereka dididik untuk sopan, berwajah merona malu-malu, bersikap sembunyi-sembunyi, hingga berpenampilan memperlihatkan payudara yang hampir telanjang bulat.
Hal itu dilakukan semata-mata agar mereka dapat dipilih sebagai 'piaraan Sunan' di Keputren.
Bahkan dengan daya tarik seksual itu, diharapkan mereka bisa memikat raja dan menjadi kesayangan di antara selir-selir lainnya.
Meski begitu, tak selamanya daya tarik inilah yang mempererat hubungan penguasa dan selirnya.
Perkawinan politik dianggap jauh lebih kuat untuk menyatukan mereka.
Jadi latar belakang keluarga perempuan yang kuat atau berpotensi bermusuhan jauh lebih penting untuk dijadikan aliansi politik.
(*)