Penulis
Intisari-Online.com -Ternyata Indonesia pernah membantu pejuang Afganistan melawan Uni Sovietpada Perang Dingin II yang berlangsung antara 1975-1985.
Kala itu, Indonesia membantu persenjataan melalui Pakistan—yang terletak di selatan Afganistan.
Kala itu, Uni Soviet mencoba menginvasi Afganistan dengan melibatkan 75 ribu pasukan.
Perang sengit pun terjadi antara Uni Soviet yang mendukukng rezim Perdana Menteri Nur Muhammad Taraki dengan para kelompok pejuang lokal yang didukung oleh AS dan sekutunya, termasuk Indonesia.
Baca juga:Beginilah Kondisi Afganistan 15 Tahun Setelah Invasi Amerika Serikat
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada akhir 1970-an banyak memiliki persenjataan dan logistik buatan Uni Soviet.
Persenjataan ini rupanya cocok untuk digunakan dalam melanjutkan perang gerilya "Pejuang Mujahidin" melawan kekuatan pasukan Uni Soviet di Afganistan.
Dengan alasan inilah, Pemerintah Indonesia bersedia membantu "Pejuang Mujahidin".
Tanggal 18 Februari1981, Pimpinan Intelijen RI Letjen TNI LB Moerdani didampingi Paban VIII Staf Intel Hankam RI Kolonel Udara Teddy Rusdy melakukan pertemuan khusus dengan Kepala Intelijen Pakistan.
Ini pertemuan rahasia untuk membahas permintaan "Pejuang Mujahidin" dan Intelijen Pakistan dalam membantu logistik, obat-obatan, dan persenjataan.
LB Moerdani pun setuju.
Dengan persetujuan Soeharto, yang kala itu menjabat sebagai Presiden RI, senjata buatan Uni Soviet dari berbagai jenis yang disimpan di gudang-gudang di seluruh Indonesia dikumpulkan.
Total jenderal, senjata yang dikumpulkan mampu untuk melengkapi pasukan sebesar dua batalyon infanteri.
Senjata dan logistik itu kemudian diangkut ke Jakarta dan dikumpulkan di gudang-gudang khusus milik Staf Intel Hankam, Pusat Intelijen Strategis, dan Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma.
Senjata-senjata itu juga harus dihapus semua nomor serinya untuk mengaburkan asal sumbernya.
Pekerjaan ini membutuhkan waktu yang cukup lama.
Juli 1981 dipersiapkan cara dan sarana untuk pengangkutannya dari Jakarta ke Afganistan. Semua senjata dimasukkan ke dalam peti dan diberi label palang merah.
Peti-peti ini dicampurkan dengan peti-peti obat-obatan dan selimut.
Untuk pengangkutannya banyak alternatif yang didiskusikan, dan akhirnya diputuskan untuk mengangkut kargo tersebut melalui udara.
Pesawat Boeing 707 milik Pelita Air Service ditugaskan untuk membawa ‘bantuan’ ini.
Tiga pilot, Capt Arifin, Capt Abdullah, dan Capt Danur, menerbangkan pesawat tersebut untuk operasi intelijen.
Pelita Air Service dan Garuda Indonesia Airways dengan pilot-pilot terpilih memang seringkali digunakan untuk menunjang operasi intelijen.
Rencana penerbangan (flight plan) rahasia disusun melalui rute-rutefriendly countries.
Baca juga:Tugu Tani di Menteng Merupakan Simbol Komunisme, Benarkah?
Dipilih rute penerbangan Jakarta-Diego Garcia, kepulauan milik Inggris di Samudera Indonesia yang dikuasai Amerika Serikat dengan jarak tempuh sekitar 3.000 mil laut.
Lalu dilanjutkan ke rute Diego Garcia-Rawalpindi di Pakistan Utara, yang jarak tempuhnya juga hampir sama. Bantuan senjata kepada pejuang ini disamarkan dalam sebuah misi kemanusiaan.
Menjelang tengah malam, pesawat mendarat di Pangkalan Angkatan Udara Pakistan di Rawalpindi.
Tank dan truk serta personel bongkat muat dan angkut dari tim penerima sudah disiapkan Intelijen Pakistan untuk selanjutnya didistribusikan ke para pejuang.
Semua bantuan dikeluarkan dipindahkan ke tank dan truk.
Setelah bongkar muat selesai, rombongan segera bergerak dalam. Iring-iringan konvoi bergerak ke arah barat melalui Attock, Nowshera, Peshawar, berlanjut melintasi Khyber Pass.
Inilah lembah yang terkenal untuk memasuki Afghanistan dari Pakistan. Sesampainya di tujuan, bantuan pun diserahkan kepada Pimpinan Pejuang Mujahidin di Nangarhar.