Find Us On Social Media :

Kisah Sukses Asia Perantauan Di AS

By Agus Surono, Senin, 21 Mei 2012 | 04:03 WIB

Kisah Sukses Asia Perantauan Di AS

Saya sangat beruntung. Masa itu Jerman sudah menyerah tetapi Jepang belum. Kebanyakan pemuda AS masih berdinas di ketentaraan sehingga Harvard yang biasanya susah dimasuki pun agak lowong. Selain itu Chiao Tung juga memiliki reputasi yang baik dan orangorang Chiao Tung yang pernah belajar di sana menunjukkan reputasi baik. Atau mungkin juga Harvard diberi tahu perihal program pendidikan yang disponsori AS itu. Yang jelas, saya bersama beberapa kawan diterima di sana. Berarti waktu itu diterima di Harvard lebih mudah daripada diterima magang di perusahaan-perusahaan.

Bulan September 1945 saya pindah ke Perkis Hall, asrama untuk mahasiswa pasca-sarjana di Harvard. Saya tidak merasa terlalu asing di sini, sebab ada kawan lain dan juga ada David K. Chung yang sudah lebih dulu ada di sana. (la kemudian mengajar kimia di Syracuse University.)

Saya belum lancar berbicara bahasa Inggris, tetapi sudah lumayan dapat menulis dalam bahasa itu, sebab sejak sekolah saya memakai buku pelajaran Amerika. Jadi saya merasa betah di Harvard. Pada masa itu saya beruntung, karena dua di antara pengajar saya adalah Prof. Edward Mill Purcell dan Percy W. Bridgman, yang kemudian mendapat Hadiah Nobel untuk karya yang mereka buat di  Harvard.

Karena sudah selama lima tahun di Chiao Tung saya mempraktikkan pengetahuan akademis dalam mendesain dan membuat peralatan radio serta komunikasi dengan bahan-bahan seadanya, saya merasa pelajaran di sana relatif mudah. Betapa pun juga teknik elektro itu sains terapan. Pada semester pertama saya mendapat dua A+ dan dua A.

Walaupun di AS komponen banyak dan murah, saya sudah terbiasa memanfaatkan bahan sehemat mungkin. Lagi pula makin sedikit komponen peralatan yang kami buat, makin kurang kemungkinan terjadi kerusakan.

Ada orang yang kerjanya mengotak-atik komponen sepanjang hari lalu membawa pekerjaannya ke rumah, supaya bisa melanjutkan kerjanya sampai larut malam. Sebaliknya, saya lebih suka berpikir sambil menghadapi kertas dan pensil. Sampai saat ini pun saya tidak mempunyai bengkel kerja di rumah. Saya juga tidak bekerja siang malam. Saya cukup puas untuk menunggu sampai besok. Kalau terjadi kesalahan, saya akan mencoba memahami di mana salahnya, lalu membetulkannya.

Meraih Ph.D

Sesudah memperoleh gelar master tahun 1946, saya masih berniat pulang ke Cina kalau program dua tahun itu sudah lewat. Namun pada tahun kedua, pemerintah nasionalis harus mempergunakan uang mereka untuk keperluan yang lebih mendesak, yaitu melawan Mao. Jadi saya harus mencari uang sendiri.

Seorang lulusan Chiao Tung yang juga lulusan pasca-sarjana dari Harvard, W.K. Chow, memanggil saya ke Kanada untuk membantunya. la bertugas membeli bahan-bahan untuk pemerintahan Cina. Bulan November 1946 saya datang, tetapi segera tahu bahwa saya salah pilih. Saya tidak cocok dengan kerja administrasi yang rutin membosankan.

Saya cepat memutuskan kembali ke Harvard untuk mengambil Ph.D. Bulan Desember saya menulis surat pada Prof. E. Leon Chaffee, ketua Departement Fisika terapan di Harvard, untuk bertanya apakah saya bisa ikut program Ph.D. Saya kenal Prof. Chaffee karena ia mengajar fisika di kelas saya.

Rupanya karena hasil program master saya baik, ia menerima saya. Supaya saya bisa membiayai diri sendiri, ia menawarkan pekerjaan. Saya akan mendapat AS$ 1.000 setahun, kalau saya menjadi instruktur di laboratorium selama delapan jam seminggu. la juga bersedia menjadi pembimbing disertasi saya.

Jadi bulan Febmari 1967 saya kembali ke Cambridge. Ongkos sewa kamar saya cuma AS$ 7 seminggu. Saya harus cepat-cepat mendapatkan Ph.D., sebab saya terdesak biaya. Pada bulan September, Dr. Chaffee menolong saya mendapat bea siswa dari Benrus Time, sehingga saya tidak perlu mengajar lagi. Dengan demikian saya bisa mencurahkan perhatian sepenuhnya pada disertasi. Bahkan dengan bea siswa ini pun saya harus ngebut.