Find Us On Social Media :

Kisah Sukses Asia Perantauan Di AS

By Agus Surono, Senin, 21 Mei 2012 | 04:03 WIB

Kisah Sukses Asia Perantauan Di AS

Anak harus ikut rapat akbar

Pada masa itu di Kun San tidak ada orang Barat, tetapi saya banyak belajar tentang dunia yang ada di luar kota dan Negara Cina lewat buku-buku.

Saya senang membaca dan sering pergi ke perpustakaan untuk membaca segala macam buku, terutama buku tentang fisika dan matematika. Saya membaca tentang Leonardo da Vinci, Galileo dan juga para pemikir barat lain dalam dunia sains. Saya terkesan oleh riwayat Sir Isaac Newton karena ia dapat melihat hal-hal yang tidak konvensional, karena ia mempertanyakan konsep-konsep yang sudah diterima secara mutlak. Ancaman Jepang yang sudah merebut Manchuria membuat pihak-pihak yang terus-menerus bertikai di dalam negeri berdamai sebentar untuk menghadapi musuh bersama. Seingat saya antara umur 8 - 12 tahun itu kami, murid-murid sekolah, harus ikut rapat-rapat besar yang mengobarkan semangat anti-Jepang dan kadang-kadang juga Inggris. Rapat-rapat itu membuat saya bertanya-tanya di dalam hati, apakah pembicara sendiri melaksanakan anjuran-anjurannya. Saya sangsi.

Umur 13 tahun saya dipindahkan ke SMU dekat rumah nenek saya di Shanghai. Sekolah itu memang reputasinya baik dalam bidang sains. Kepala sekolahnya lulusan S2 dari Columbia University, la dulu dibimbing pendidik Amerika John Dewey yang terkenal itu. Di sana buku-buku aljabar yang kami pakai sama dengan yang dipakai mahasiswa tingkat I di AS. Buku ilmu bumi dan sejarah saya pun ditulis dalam bahasa Inggris. Sejak dulu saya tidak berminat menghafalkan nama-nama tempat dan tahun-tahun. Kini hal itu mesti saya lakukan dengan bahasa Inggris. Tentu saja hasilnya bisa diterka. Walaupun penggunaan buku-buku teks dalam bahasa Inggris tidak saya sukai, namun kemudian hal itu akan banyak menolong saya ketika mendapat kesempatan menuntut ilmu di AS.

Karena sekolah dipindahkan sekitar 15 km ke luar kota, saya pun tinggal di asrama yang peraturannya ketat. Sekolah usai pukul 16.00. Setelah makan malam kami harus belajar selama 2 jam. Pukul 21.00 lampu dipadamkan.

Berhubung tubuh saya jauh lebih kecil dibandingkan dengan teman- teman sekelas, saya tidak mampu ambil bagian dalam olahraga beregu. Kadang-kadang saya dapat juga kesempatan untuk menjadi kiper dalam permainan bola, tapi saya lebih sering menjadi bulan-bulanan daripada menjadi penjaga gawang. Namun, prestasi saya lumayan dalam olahraga perorangan, seperti tenis meja. Kemudian ketika sudah mahasiswa saya terpilih untuk bertanding mewakili universitas dalam tim olahraga kami.

Keluarga kocar-kacir

Umur 16 tahun saya lulus SMU dan diterima di Universitas Chiao Tung, universitas yang mungkin bisa disebut sebagai MIT-nya Cina. Dalam ujian masuk universitas, angka saya paling tinggi di bagian saya sehingga saya diangkat menjadi 'ketua kelas'. Kedudukan itu bisa saya pertahankan selama empat tahun di sana. Saya senang belajar teknik elektro dengan penekanan pada komunikasi karena dalam bidang ini mata pelajaran matematika dan fisika yang saya sukai diterapkan untuk penggunaan praktis. Karena sama sekali tidak mendapat kesulitan di Chiao Tung, saya lebih banyak main tenis meja daripada belajar.

Salah satu kegiatan saya masa itu ialah mencari tulisan-tulisan ilmiah menarik dari majalah-majalah Amerika seperti Popular Mechanics dan Popular Science untuk diedit dan diterjemahkan ke bahasa Cina. Guru-guru yang paling saya senangi giat berusaha mengubah Cina menjadi masyarakat modern. Minat mereka sama sekali tidak bermaksud menyingkirkan kebudayaan Cina, tetapi ingin membuka negara bagi gagasan-gagasan baru dan teknologi. Mereka mencoba menunjukkan kepada orang-orang muda seperti kami bahwa kami bisa belajar dari dunia di luar perbatasan Cina.

Di masa itu Shanghai terdiri atas sebuah kota besar dan wilayah konsesi-konsesi, yaitu daerah seluas 14,5 km2, yang terbagi dua menjadi Permukiman Internasional (diperintah oleh Inggris, AS, dan pemegang konsesi lain) dan konsesi Prancis (diperintah oleh Prancis). Konsesi-konsesi itu dulu diberikan oleh Cina setelah kalah dalam Perang Candu. Walaupun konsesi-konsesi itu berada di Cina, namun orang-orang Cina di sana dianggap orang asing dan tunduk pada penguasa konsesi.

Pada musim semi 1937 saya berlibur ke Kun San. Perang dengan Jepang tampaknya hampir meletus (Jepang sudah merebut Manchuria tahun 1931, tapi Perang Dunia II baru resmi pecah di Cina ketika Jepang merebut Beijing tahun 1937). Saya buru-buru ke Shanghai lagi, khawatir teralang oleh perang.

Chiao Tung sebetulnya terletak di luar Permukiman Internasional. Selama tiga tahun setelah itu, perang berkecamuk di Cina, tetapi di Permukiman Internasional keadaan aman-aman saja. Saya merasa lega ketika mendengar keluarga saya meninggalkan Kun San untuk menuju daerah konsesi.