Find Us On Social Media :

Kisah Sukses Asia Perantauan Di AS

By Agus Surono, Senin, 21 Mei 2012 | 04:03 WIB

Kisah Sukses Asia Perantauan Di AS

Intisari-Online.com - Wang Computer mencapai kejayaannya di era 1980-an. Berangkat dari nol, An Wang membangunnya sampai menjadi bisnis miliaran dolar. Bagaimana seorang imigran dengan modal seadanya bisa demikian berjaya? Kisah ini disarikan dari autobiograft Dr. An Wang, Lessons (1986), yang ditulisnya bersama Eugene Linden.

Saya lahir di Shanghai pada tanggal 7 Februari 1920. Saat itu Cina sedang kalut. Bagi orang-orang Cina yang berpendidikan, masa itu bisa disamakan dengan zaman Renaissance di Eropa, tetapi bagi orang-orang miskin bisa dibandingkan dengan zaman kegelapan.

Saya diberi nama An, sedangkan nama keluarga saya Wang. An Wang artinya Raja Damai. Ayah saya guru bahasa Inggris di SD swasta di Kun San, suatu dataran tinggi berpenduduk sekitar sepuluh ribu orang, sekitar 50 km dari Shanghai. la pulang seminggu sekali ke rumah sewaan milik keluarga ibu saya. Masa itu jarang sekali orang Cina berkesempatan belajar di sekolah tinggi.

Jadi ayah saya termasuk berpendidikan cukup, walaupun ia cuma belajar setahun di Universitas ChiaoTung (kini Jiao Tong). Kalau terjadi perang atau kerusuhan, sekolah diliburkan dan Ayah menjadi sinse untuk mengobati orang-orang yang sakit perut, flu, atau malaria. Maklum rakat jelata cuma bisa bisa memperoleh obat-obatan tradisional.

Ayah saya pendiam. la juga angker dan menerapkan disiplin keras. Sedangkan Ibu penuh kasih sayang dan selalu mengikuti kehendak anak. Saya mempunyai kakak perempuan, Hsu, adik perempuan bernama Yu, dan dua adik laki-laki bernama Ping dan Ge. Yu enam tahun lebih muda dari saya, Ping 10 tahun lebih muda dari saya, sedangkan Ge baru lahir ketika saya berumur 14 tahun.

Lulus pas-pasan

Kami pindah ke Kun San yang sejuk dan subur ketika umur saya enam tahun. Di sana kami tidak pernah mengalami musim kemarau panjang ataupun kelaparan seperti yang terjadi di bagian Cina yang lain. Maka masa itu saya tidak pernah mengetahui adanya kesengsaraan seperti yang dilukiskan oleh Pearl S. Buck dalam bukunya yang termasyhur, The Good Earth.

Sebagai anak umur enam tahun sudah sepantasnya saya masuk sekolah, tetapi sekolah tempat ayah saya mengajar tidak memiliki kelas 1 maupun 2 SD, apalagi TK. Jadi saya langsung masuk ke kelas 3, sebagai anak yang dua tahun lebih muda dari teman-teman sekelas. Rasanya sama saja seperti kalau kita dilemparkan ke dalam air padahal tidak bisa berenang.

Dalam keadaan seperti itu hanya ada dua kemungkinan: tenggelam atau segera bisa berenang. Saya segera sadar bahwa saya pandai berhitung. Saya dapati bahwa kalau saya berpikir cukup keras dan cukup lama, soal-soal hitungan bisa saya pecahkan. Pernah guru saya berkata kepada teman sekelas saya, "Coba lihat, nih, anak yang lebih muda dua tahun dari kamu saja bisa. Mengapa kamu tidak becus?" Jelas tindakannya membuat saya tidak populer di antara teman-teman sekelas. Namun, dengan bersusah payah akhirnya saya bisa juga menanggulangi hambatan sosial dan pelajaran di sekolah.

Selain ilmu bumi, kami mendapat pelajaran sejarah dan kebudayaan Cina. Tapi bagi saya pelajaran-pelajaran itu membosankan. Dalam pelajaran bahasa Inggris, yang kami peroleh mulai kelas 4, saya agak lebih maju daripada anak-anak lain sebab saya sudah diajari abjad Inggris di rumah pada umur empat tahun. Sedangkan kebudayaan Cina dan pemikiran Cina saya peroleh dari nenek saya yang rumahnya di Shanghai juga. Berkat dia, Konfusianisme tertanam dalam diri saya, walaupun pada masa itu saya lebih tertarik pada permen yang ia berikan seusai pelajaran.

Sesudah menyelesaikan kelas 6, ada dua pilihan tersedia bagi saya: ikut ujian masuk SMTP atau menunggu dulu setahun supaya umur saya tidak terlalu berbeda dengan rekan-rekan sekelas. Masa itu untuk masuk SMTP biayanya mahal sekali bagi ukuran keluarga Cina tahun '30-an yaitu 10 dolar perak. Maklum di Kun San cuma ada dua sekolah menengah, yang setiap tahunnya hanya bisa menampung 50 - 100 anak.

Nilai-nilai saya untuk pelajaran hafalan jelek, sehingga saya lulus pas-pasan. Jadi keluarga saya menganjurkan menunggu dulu setahun sebelum ikut ujian masuk sekolah menengah. Namun, saya tidak mau mengulang kelas 6 setahun lagi. Walaupun nilai saya buruk dan umur saya terlalu muda, saat itu saya yakin bisa lulus. Jadi saya memaksa juga ikut ujian masuk. Temyata hasil ujian saya paling bagus sehingga orangtua saya segera melupakan pembangkangan saya. Rasa percaya diri saya pun bertambah.

Di SMTP, keadaan saya sama saja seperti di SD. Untuk pelajaran nonsains saya payah. Walaupun dalam metematika saya pandai, pada umumnya saya lebih suka bermain daripada membuat PR. Akibatnya setiap kali naik kelas nilai saya pas-pasan saja.