Find Us On Social Media :

Seabad Chairil Anwar: Susur Jejak Pujangga Bohemian di Kota Malang

By Intisari Online, Senin, 25 Juli 2022 | 07:00 WIB

Ary Budiyanto, dosen Antropologi Universitas Brawijaya, bersama sejarawan FX Domini BB Hera, mengisahkan corat-coret di gedung Balai Kota. Tampak para pejalan Jelajah Seabad Chairil menyimak di Monumen Tugu Kota Malang.

Di mana sosok Widagdo—sang seniman patung itu dalam foto? Sejauh ini Sisco belum bisa memastikannya. Dan, diberitakan siang-malam menjelang acara peresmian itu sang seniman terus memahat semen yang menjadi wajahnya Chairil Anwar.

“Patung ini tingginya tiga meter, yang dikerjakan dalam waktu mepet dengan dana terbatas.” Kemudian Sisco menambahkan kelakar, “Jadi pekerjaan dari dinas dari dulu seperti itu.”

“Patung itu menuai kritikan karena tidak mirip,” kata Sisco. Widagdo, sang seniman, menjawab dengan dalih waktu terbatas, keuangan terbatas, yang penting semangatnya dulu. “Bahannya diceritakan waktu itu dari semen,” ungkap Sisco.

Di seberang patung torso Chairil, Sisco bercerita bahwa pada 21 April 1955, jalanan di Kayutangan ini dipasang spanduk-spanduk yang memuat fragmen-fragmen sajak Chairil. Seminggu berikutnya, yakni pada 26-27 April digelar acara di SMA Alun-alun Bunder.

“Karya Chairil yang ditulis di Malang juga diperdengarkan,” kata Sisco. “Sayangnya bukan Sajak Buat Basuki Resobowo, tetapi Sorga.” Kendati Sorga memang lebih religius, ungkapnya, inspirasinya datang dari lukisan Basuki Resobowo yang dipercaya sebagai ekspresi lukisan nudis pertama karya pelukis Republik. “Paginya tanggal 28 April,” kata Sisco, “peringatan Chairil diadakan di sini [patung torso Chairil] jam 9.30.”

Sisco menjelaskan latar belakang kenapa patung torso Chairil harus berada di sini? Menurutnya, di sinilah kawasan seniman Malang berkumpul—mungkin serupa Planet Senen di Jakarta. Pun, Dewan Kesenian Malang berada di Jalan Majapahit—kawasan sekitar Kayutangan—sampai hari ini. “Jadi, lalu lalangnya seniman juga di sini, dan peristiwa bersejarah sidang BP KNIP ada di Sarinah sekarang—dulu Gedoeng Ra’jat Indonesia yang menempati bekas Societet Concordia. Diceritakan juga orang-orang peserta sidang ada yang masuk ke Toko Oen.”

Dia mengungkapkan bahwa pada dasarnya tempat ini cocok dan strategis. Jadi, “Keletakan historisnya ada saat 1947 dan secara historis tahun 1955 [sebagai] tempat markasnya seniman, dan itulah mengapa patung ini ada di sini.”

Siang kian menggelora, pemaparan di kawasan patung torso Chairil kian memanas. Namun, segerobak es puter telah menyegarkan para pejalan Chairil itu.

Ary Budiyanto, Dosen Antropologi Universitas Brawijaya Malang, bercerita tentang kuliner Malang sekitar 1940-an sampai 1950-an. Para pejalan Chairil tidak sekadar mencicipi es puter, tetapi juga cerita rasa di setiap suapannya.  

“Ini foto penjual es puter tahun 1947 yang difoto oleh Cast Oorthuys, yang juga memoto sidang KNIP,” kata Ary membuka kisahnya. Ada persamaan penjual masa lalu dan masa kini, yakni mereka masih menggunakan lonceng penanda yang mirip.

Sebelum bercerita tentang es puter, Ary mengawalinya dengan keinginan orang-orang Belanda dengan kuliner dingin pada 1870-an. Sampai-sampai mereka mendatangkan peranti pendingin dari Amerika.