Penulis
Intisari-online.com - Indonesia membekukan pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Malaysia.
Indonesia menilai Malaysia tidak menghormati nota kesepahaman yang ditandatangani pada April 2022.
Malaysia diketahui melakukan perekrutan TKI melalui sistem "Maid Online" yaitu perekrutan melalui internet.
Perekrutan secara online tersebut membuat pekerja migran Indonesia rentan dieksploitasi dan jelas melanggar Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran.
Melalui sistem "Maid Online" membuat pekerja migran Indonesia masuk ke Malaysia tanpa melalui pelatihan, tidak memahami kontrak kerja, dan datang menggunakan visa turis yang kemudian diubah menjadi visa kerja.
Bahkan diketahui sejauh ini, ada migran yang diterima melalui Maid Online, mencapai 15.00-20.000 pekerja, sebanyak 10.000 adalah permintaan sektor perkebunan dan manufaktur.
Sementara itu, kekejaman terhadap Warga Negara Indonesia (WNI) acap kali dilaporkan terjadi di Malaysia.
Misalnya dalam laporan yang dikutip dari Reuter, yang dirilis oleh LSM Indonesia dengan judul Like in Hell, membongkar ulah nakal petugas Malaysia pada pekerja migran.
Bahkan dalam laporannya, ada sekitar 149 Warna Negara Indonesia (WNI) di Malaysia.
Dalam fasilitas di negara bagian Sabah, di Borneo Malaysia, menampung hingga 260 orang, meski luasnya hanya sebesar lapangan bulu tangkis.
Termasuk di dalamnya ada anak-anak, beberapa memiliki penyakit seperti down sindrom, hingga kudis.
Beberapa orang yang sakit-sakitan hanya diberi dengan parasetamol.
Hingga akhirnya, seorang tahanan bernama Nathan, berusia 40 dengan down sindrom meninggal dunia.
Nathan meninggal di pusat penahanan Tawau pada bulan Maret. Penyebab kematiannya tidak disebutkan dalam sertifikat kematiannya.
Sementara, korban tewas yang dikutip dalam laporan itu didasarkan pada data yang diberikan kepada Koalisi Buruh Migran Berdaulat oleh kedutaan Malaysia di Jakarta, yang melaporkan 2.191 deportasi antara Januari 2021 hingga 24 Juni tahun ini.
Laporan Indonesia mengklaim bahwa ketika para tahanan meminta obat kepada petugas imigrasi, tetapi mereka diejek dengan disuruh mendekatkan tangan ke dada dan menggaruk, lalu mengatakan: "Nah, itu obatnya."
Mengomentari dugaan perlakuan tidak manusiawi oleh petugas Malaysia, Dinda Nuur Annisaa Yura dari Solidaritas Perempuan mengatakan itu mirip dengan sikap era kolonial di mana tahanan tidak hanya dihukum, tetapi juga "didominasi".
"Dari sini kita melihat paradigma, cara pandang yang tidak melihat para tahanan ini sebagai manusia," kata Dinda.
Kementerian Dalam Negeri Malaysia, yang mengawasi departemen imigrasi dan operasinya, sejak 2019 melarang akses luar ke pusat-pusat penahanan negara itu, termasuk ke UNHCR, badan pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Tom Andrews, Pelapor Khusus PBB untuk situasi di Myanmar, mengatakan dalam kunjungannya ke Malaysia dia tidak diberi akses ke depot-depot untuk bertemu dengan para pengungsi Myanmar di sana.