Find Us On Social Media :

Sudah Jelas Negaranya Bangkrut Gara-Gara Gagal Bayar Utang, Sri Lanka Malah Nekat Jorjoran Utang Duit Sebanyak Ini Ke China, Untuk Apa ?

By Afif Khoirul M, Minggu, 17 Juli 2022 | 07:40 WIB

Ilustrasi krisis Sri Lanka.

Intisari-online.com - Pada pertengan April lalu, Pemerintah Sri Lanka mengtakan bahwa mereka resmi mengalami kebangkrutan, setelah gagal membayar utangnya.

Gejolak pun terjadi pada masyarakat Sri Lanka yang mendesak pemerintahnya untuk mengundurkan diri, seperti presidennya.

Setelah presidennya dilaporkan mengundurkan diri melalui surat, kini Sri Lanka mengaku sedang berusaha meminjam uang ke China.

Mengutip 24h.com.vn, Sabtu (16/7/22), Sri Lanka sedang dalam pembicaraan dengan China dan berharap Beijing akan meminjamkannya uang "pada titik tertentu".

Pada (15/7), Duta Besar Sri Lanka untuk Beijing, Palitha Kohona, mengatakan bahwa ia telah meminta China untuk meminjamkan Sri Lanka 4 miliar dollar AS (Rp59 T)untuk melunasi utang dan mengatasi krisis ekonomi.

Dari 4 miliar dollar AS (Rp59 T), Sri Lanka ingin menggunakan 1 miliar dollar AS (Rp14 T) untuk melunasi utang dengan nilai yang sama, yang jatuh tempo pada akhir tahun. Pemilik utang ini juga China.

Pinjaman 1,5 miliar dollar AS (Rp22 T) digunakan untuk membayar barang-barang yang diimpor dari China.

Pada saat yang sama, Sri Lanka juga ingin memicu kesepakatan pertukaran mata uang senilai 1,5 miliar dollar AS (Rp22 T) antara kedua negara.

Baca Juga: Berkedok Beri Utangan demi Membangun Asia Tenggara, China Bak Gurita Kejam yang Sedot Kekayaan Negara ASEAN demi Keuntungan Pribadi, Pasca Sri Lanka, Negara Kecil Ini yang Bisa Bangkrut Kapan Saja

"Kami yakin bahwa, pada titik tertentu, China akan menerima tawaran kami. Ini bukan permintaan yang tidak masuk akal," kata Duta Besar Kohona.

"Kami juga mengajukan permintaan yang sama kepada kreditur lain," katanya.

"Sri Lanka membutuhkan modal untuk membawa stabilitas sistem keuangan. Kami berharap China akan mendukung, cepat atau lambat," tambah Kohona.

Komentar Kohona datang saat Sri Lanka berada di tengah krisis ekonomi dan bahan bakar terburuk sejak kemerdekaan pada tahun 1948.

Negara kepulauan Asia Selatan telah menerima dukungan 3,8 miliar dollar AS (Rp5,6) dari India dan sedang dalam negosiasi untuk kesempatan meminjam lebih banyak.

Sri Lanka berutang negara asing sekitar 51 miliar dollar AS (Rp764 T) dan negara itu hampir tidak memiliki mata uang asing untuk membayar utang atau mengimpor barang-barang penting.

Sri Lanka berutang kepada China lebih dari 3,5 miliar dollar AS (Rp52 T) dan meminta Beijing untuk merestrukturisasi utangnya.

Pemerintah Kolombo bersikeras bahwa Beijing bukanlah orang yang mendorong negara itu untuk gagal bayar dan bahwa pinjaman China hanya menyumbang sekitar 10% dari utang Sri Lanka.

Dalam menghadapi kerusuhan yang berkembang, Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa telah meninggalkan negara itu dan mengajukan pengunduran dirinya.

Pada tanggal (15/7), surat pengunduran diri Gotabaya melalui email diterima.

"Gotabaya telah mengundurkan diri secara sah," kata Ketua Parlemen Sri Lanka Mahinda Yapa Abeywardana.

Di bawah konstitusi Sri Lanka, Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe menjadi penjabat Presiden setelah Gotabaya mengundurkan diri.

Namun, Wickremesinghe juga tidak mendapat dukungan dari banyak orang.

Ketua Parlemen Mahinda Abeywardana mengatakan anggota parlemen Sri Lanka akan bersidang pada (16/7) untuk membahas pemilihan presiden baru.