Find Us On Social Media :

Lee Kuan Yew: Masa Muda yang Penuh Derita

By K. Tatik Wardayati, Senin, 23 Maret 2015 | 14:00 WIB

Lee Kuan Yew: Masa Muda yang Penuh Derita

Intisari-Online.com – Tanggal 16 September 1998, penduduk Singapura antre untuk membeli buku The Singapore Story, Memoirs of Lee Kuan Yew. Jilid I riwayat menteri senior dan bekas perdana menteri mereka itu diterbitkan bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke-75. Di antara orang asing yang dimintai pendapat sebelum buku ini diterbitkan terdapat mantan Menkeu RI AH Wardhana, mantan Menlu Mochtdr Kusumaatmadja, dan Menko Wasbang Hartarto. Inilah kisah masa muda Lee Kuan Yew yang penuh derita.

--

Saya lahir di Singapura pada 16 September 1923, di 92-Kampong Java Road. Ibu soya, Chua Jim  Neo, waktu itu berumur 16 tahun. Ayah saya, Lee Chin Koon, 20 tahun. Orang tua mereka menjodohkan mereka setahun sebelumnya.

Ayah saya dibesarkan sebagai anak orang berada. Ia bersekolah di St. Joseph's Institution yang berbahasa Inggris. Seumur hidupnya ia menyesal tidak melanjutkan sekolah setelah lulus SD. Dengan   pendidikannya itu ayah saya hanya bisa menjadi pelayan toko di perusahaan minyak Shell ketika harta keluarganya amblas ditelan depresi ekonomi.

Saya mempunyai tiga adik laki-laki dan seorang adik perempuan. Karena mereka lebih muda, saya lebih sering bermain dengan anak-anak nelayan Cina dan Melayu yang tinggal di kampung  seberang rumah kakek saya.

Kami mengadu layang-layang, gasing, kelereng dan bahkan ikan cupang. Permainan ini memupuk semangat bertarung dan keinginan untuk menang. Saya tidak tahu apakah ada pengaruhnya dalam menghadapi pertarungan politik kemudian.

Sebagai kanak-kanak saya tidak memiliki pakaian atau sepatu yang modis seperti cucu-cucu saya sekarang. Kami tidak miskin, tetapi tidak memiliki permainan yang berlebihan.

Kami banyak membaca. Pengaruhnya baik terhadap kemampuan bahasa kami. Saya membeli buku-buku murah dan sangat menantikan kedatangan kapal yang membawa majalah-majalah dari Inggris. Setelah agak besar sedikit, saya memanfaatkan Raffles Library.

Berkat pengorbanan ibu

Namun, hidup tidak selalu menyenangkan. Kadang-kadang ayah saya marah-marah sepulang berjudi. Ia meminta perhiasan ibu saya untuk digadaikan, agar ia bisa mengadu untung kembali. Namun, ibu saya dengan gigih mempertahankan perhiasannya, demi masa depan anak-anaknya.

Ibu saya berwatak kuat, memiliki banyak energi dan panjang akal. Ia mengabdikan hidupnya untuk anak-anaknya agar mereka bisa mendapat pendidikan yang baik dan mandiri.

Ketika saya berangkat dewasa, ia mulai meminta saran-saran saya perihal masalah keluarga yang penting-penting, sehingga ketika berumur belasan tahun, praktis saya sudah menjadi kepala keluarga. Inilah yang mengajar saya membuat keputusan.

Umur saya belum enam tahun, waktu nenek saya dari pihak ibu bersikeras memasukkan saya ke sekolah anak-anak nelayan di dekat rumah kami. Sekolah itu beratap daun kelapa, lantainya lempung. Kelasnya cuma satu.

Dua atau tiga bulan kemudian ibu saya mengabulkan keinginan saya untuk pindah ke sekolah berbahasa Inggris di Teluk Kurau. Di sini saya memperoleh kemajuan tanpa harus bersusah-payah.

Tahun 1935 saya lulus dengan menduduki peringkat pertama sehingga bisa diterima di Raffles Institution. Saya senang bersekolah di sini dan aktif dalam kepanduan, bermain kriket, tenis, berenang serta ikut kegiatan debat. Namun, saya tidak pernah menjadi prelect (pemimpin pelajar) karena saya jail.

Di kelas sering saya tertangkap basah sedang menulis kata-kata iseng untuk disampaikan pada teman-teman atau meniru gerak-gerik guru. Pernah saya kepergok sedang menggambar kepala botak guru IPA yang galak.

Kepala sekolah kami, D.W. McLeod, adalah pendidik yang adil dan keras menegakkan disiplin. Siswa yang dalam satu tahun ajaran datang terlambat tiga kali, akan dipukul pantatnya dengan rotan tiga kali.

Saya termasuk orang yang kuat begadang, dengan akibat  bangun siang. Ketika tahun 1938 saya terlambat untuk ketiga kalinya, saya tidak luput dari hukuman itu, walaupun Pak McLeod tahu jumlah penghargaan yang saya kumpulkan dan beasiswa yang saya peroleh berulang-ulang.

Jadi relawan

Pada 8 Desember 1941 subuh, Jepang datang menjatuhkan bom pertama mereka di Singapura. Enam puluh nyawa melayang dan 130 orang cedera.

Kemudian pengajaran ditiadakan dan kami meninggalkan asrama. Saya menjadi relawan di unit kesehatan sekolah, Medical Auxiliary Unit (MAS).

Bulan Januari Jepang membomi Singapura siang malam. Korban pertama yang kami tolong adalah mangsa bom dekat kantor polisi di sebuah desa di Bukit Timah. Mengerikan sekali menyaksikan orang-orang bersimbah darah, cedera, dan tewas.

Paginya semua pasukan Inggris ditarik dari Johor ke Singapura. Singapura dikepung. Tembak menembak makin dekat ke kota, sehingga keluarga kami yang tinggal di Norfolk Road, mengungsi ke rumah kakek dari pihak ibu di Teluk Kurau.

Saya tetap tinggal di Norfolk Road ditemani tukang kebun  kami, Koh Teong Koo yang merangkap sebagai penarik rickshaw.

Sebenarnya, keluarga kami sudah membangun lubang perlindungan di bawah tanah di Norfolk Road.. Di lubang yang dilapisi kayu itu ibu saya menyediakan beras, garam, kecap, ikan asin, makanan kaleng, susu kental manis dsb. untuk keperluan jangka panjang. Uang bukan masalah, sebab perusahaan minyak Shell Go memberi ayah saya gaji untuk beberapa bulan sekaligus ketika ia diperintahkan mengevakuasi depot minyak di Batu Pahat.

Militer mengambil alih sekolah kami tanggal 10 Februari dan dua hari kemudian unit MAS kami dibubarkan. Ketika bunyi tembakan makin mendekat, saya menyusul keluarga ke Teluk Kurau. Keesokan harinya saya bertemu tentara  Jepang di dekat kampung tempat saya dulu bermain.

Tubuh mereka pendek. Mereka menyandang bedil panjang dengan bayonet terhunus. Baunya bukan main. Pasti karena dua bulan bertempur di hutan-hutan Malaya sampai Singapura tanpa mandi dan mencuci pakaian.

Saya takut setengah mati, tetapi mereka tidak mempedulikan, sebab yang mereka cari adalah tentara. Kami segera menutup pintu-pintu dan jendela-jendela. Soalnya, kami dengar tentara Jepang menyiksa dan memperkosa penduduk di daratan Cina.

Tersiar kabar pasukan Inggris sudah menyerah. Keesokan harinya teman-teman yang kembali dari kota menceritakan bahwa rumah-rumah orang Eropa dijarah oleh supir dan tukang kebun mereka sendiri. Bagaimana nasib rumah kami?

Dengan izin ibu, saya mengajak, Teong Koo, menjenguk rumah. Kami berjalan kaki sekitar 12 km. Kami melihat penjarah-penjarah Cina dan Melayu sedang mengangkuti barang-barang jarahan mereka.

Pada awal kedatangannya, orang-orang Jepang pun menjarah. Mereka mengambili sepeda, tapi kemudian mereka cuma mengambil benda-benda kecil yang berharga, sebab benda-benda besar tidak bisa mereka bawa ke tujuan berikutnya yaitu Jawa..

--

Tulisan ini pernah dimuat di Intisari edisi Januari 1999 dalam rubrik Cukilan Buku, ditulis oleh Helen Ishwara, dengan judul asli Lee Kuan Yew Masa Mudanya Penuh Derita.