Find Us On Social Media :

Lee Kuan Yew: Masa Muda yang Penuh Derita

By K. Tatik Wardayati, Senin, 23 Maret 2015 | 14:00 WIB

Lee Kuan Yew: Masa Muda yang Penuh Derita

Umur saya belum enam tahun, waktu nenek saya dari pihak ibu bersikeras memasukkan saya ke sekolah anak-anak nelayan di dekat rumah kami. Sekolah itu beratap daun kelapa, lantainya lempung. Kelasnya cuma satu.

Dua atau tiga bulan kemudian ibu saya mengabulkan keinginan saya untuk pindah ke sekolah berbahasa Inggris di Teluk Kurau. Di sini saya memperoleh kemajuan tanpa harus bersusah-payah.

Tahun 1935 saya lulus dengan menduduki peringkat pertama sehingga bisa diterima di Raffles Institution. Saya senang bersekolah di sini dan aktif dalam kepanduan, bermain kriket, tenis, berenang serta ikut kegiatan debat. Namun, saya tidak pernah menjadi prelect (pemimpin pelajar) karena saya jail.

Di kelas sering saya tertangkap basah sedang menulis kata-kata iseng untuk disampaikan pada teman-teman atau meniru gerak-gerik guru. Pernah saya kepergok sedang menggambar kepala botak guru IPA yang galak.

Kepala sekolah kami, D.W. McLeod, adalah pendidik yang adil dan keras menegakkan disiplin. Siswa yang dalam satu tahun ajaran datang terlambat tiga kali, akan dipukul pantatnya dengan rotan tiga kali.

Saya termasuk orang yang kuat begadang, dengan akibat  bangun siang. Ketika tahun 1938 saya terlambat untuk ketiga kalinya, saya tidak luput dari hukuman itu, walaupun Pak McLeod tahu jumlah penghargaan yang saya kumpulkan dan beasiswa yang saya peroleh berulang-ulang.

Jadi relawan

Pada 8 Desember 1941 subuh, Jepang datang menjatuhkan bom pertama mereka di Singapura. Enam puluh nyawa melayang dan 130 orang cedera.

Kemudian pengajaran ditiadakan dan kami meninggalkan asrama. Saya menjadi relawan di unit kesehatan sekolah, Medical Auxiliary Unit (MAS).

Bulan Januari Jepang membomi Singapura siang malam. Korban pertama yang kami tolong adalah mangsa bom dekat kantor polisi di sebuah desa di Bukit Timah. Mengerikan sekali menyaksikan orang-orang bersimbah darah, cedera, dan tewas.

Paginya semua pasukan Inggris ditarik dari Johor ke Singapura. Singapura dikepung. Tembak menembak makin dekat ke kota, sehingga keluarga kami yang tinggal di Norfolk Road, mengungsi ke rumah kakek dari pihak ibu di Teluk Kurau.

Saya tetap tinggal di Norfolk Road ditemani tukang kebun  kami, Koh Teong Koo yang merangkap sebagai penarik rickshaw.