Find Us On Social Media :

Iran Bisa Melihat Kemenangannya, Minyak Bumi Iran Bisa Kembali Dijajakan di Pasar Global Setelah Kebangkitan Kesepakatan Nuklir Iran Ini, Apa yang Berubah?

By May N, Kamis, 30 Juni 2022 | 15:02 WIB

Kilang minyak Bandar Abbas, Iran, 2019

Intisari - Online.com - Akan ada perasaan déjà vu atas berita bahwa pembicaraan tidak langsung dimulai oleh Amerika Serikat (AS) dan Iran di bawah mediasi Uni Eropa di ibukota Qatar, Doha, Selasa (28/6/2022).

Mengingat berbagai hal yang terjadi baik internal maupun eksternal, harapan untuk hasil positif bisa tetap dipertahankan.

Berbagai paksaan sedang dikerjakan oleh Washington dan Teheran, dan Brussels yang menuntun pada rasa keterdesakan sebagai bagian dari protagonis pembicaraan nuklir ini, untuk kemudian mencari solusi bagi masalah yang sudah ada sejak tahun 2015 ini.

Dilansir dari Asia Times, masalah ini disebut sebagai faktor "TINA", akronim untuk There Is No Alternative (Tidak Ada Alternatif).

bagi Iran, rezim di Teheran putus asa mencari pengangkatan sanksi AS dan blokade ekonomi yang membatasi ekspor minyak negara itu, diperparah dengan nilai mata uangnya terhadap dolar, yang kini bernilai sepersepuluh nilai awal di awal kesepakatan nuklir 2015 lalu.

Melemahnya nilai mata uang Iran atas dolar kini memperparah kemiskinan warga, dan menjadi efek bola salju yang bisa menggulingkan stabilitas politik.

Beberapa bulan terakhir, telah ada hampir protes anti-pemerintah karena kemiskinan, harga rumah yang tidak masuk akal, inflasi meningkat (menyentuh 40%), loncatan masif harga pangan (lebih dari 80%), pengangguran yang meningkat (lebih dari 20% dari seluruh warga berusia 15-24 tahun menurut angka resmi), dan masih banyak lagi.

Protes ini menunjukkan pergantian paradigma dalam politik Iran.

Tentu saja, dasar politik dan sosial rezim ini substansial dan kontrolnya atas badan pemerintah tidak bisa diremehkan.

Namun masalahnya, negara itu berperilaku jauh di bawah kemampuan potensialnya, mencapai jalan buntu, yang tidak harus terjadi pada rezim nasionalis borjuis yang dipimpin pendeta, mengingat sumber daya negara yang besar yang belum dimanfaatkan untuk mempercepat pertumbuhan dan perkembangannya.

Adapun pemerintahan Presiden AS Joe Biden, kebuntuan saat ini penuh dengan bahaya besar karena program nuklir Iran terus maju dan dalam waktu dekat mungkin sudah melampaui batas-batas Rencana Aksi Komprehensif Gabungan 2015 (JCPOA).

Pada saat itu, Washington mungkin harus menggunakan cara-cara koersif untuk menutup dan memutar kembali penurunan berbahaya yang pasti akan memicu pembalasan Iran terhadap AS dan sekutu regionalnya dengan konsekuensi bencana di sekelilingnya.