Ritual Famadihana ‘Menari dengan Orang Mati’ Suku Malagasi di Madagaskar, ‘Reuni’ Keluarga Besar dengan Kerabat yang Sudah Meninggal, Seperti Berikut Ini Upacaranya!

K. Tatik Wardayati

Penulis

Ritual Famadihana, menari dengan orang mati, suku Malagasi di Madagaskar.

Intisari-Online.com – Reuni keluarga yang khas biasanya tidak melibatkan pertemuan dengan kerabat Anda yang sudah meninggal.

Namun, di Madagaskar, sebuah perayaan penting yang disebut ‘Famadihana’ adalah waktu bagi orang Malagasi untuk menghabiskan waktu bersama orang yang mereka cintai, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal.

Ritual yang dikenal sebagai ‘Famadihana’, yang secara harfiah berarti ‘pembalikan tubuh leluhur’.

Orang Malagasi merayakan acara ini agar anggota keluarga baru dapat bertemu dengan leluhur mereka dan kenangan dapat dibagikan dan tidak akan pernah terlupakan.

Praktik penguburan sekunder ini muncul pada tahun 1820-an setelah pemulangan jenazah tentara dari jauh.

Festival ini juga mendapatkan kembali popularitas selama pemindahan makam ketika makam mulai dibangun kembali di atas batu dengan diperkenalkannya tempat pembakaran.

Biasanya, sanak saudara yang leluhurnya berbagi makam yang sama akan berkumpul satu tahun sebelumnya untuk membahas rencana Famadihana mendatang.

Kelaurga lalu mendiskusikan tanggal, pengeluaran, dan daftar tamu.

Selama ritual, para tetangga dan penduduk setempat dari seluruh penjuru diundang untuk berbagi makanan Famahanana yang terdiri dari nasi dan babi (atau daging sapi), yang juga dikenal sebagai ‘varibemenaka’.

Astrolog setempat biasanya menetapkan tanggal yagn tepat antara Juli dan September diadakannya Famadihana.

Selama dua atau tiga hari ini makam keluarga dapat dibuka.

Hari pertama disebut ‘Fidirana’ atau ‘hari masuk’, dan hari kedua disebut ‘Famonosana’, atau ‘hari pembungkusan’.

Kerabat dan anggota keluarga, yang banyak di antaranya belum pernah bertemu sejak Famadihana terakhir, berkumpul untuk memperkenalkan anggota baru (terutama putra dan menantu).

Bagi sebagian orang, Famadihana adalah satu-satunya kesempatan di mana kerabat dapat melihat keluarga mereka.

Ini adalah perayaan yang memperkuat hubungan keluarga serta jaringan lokal.

Malamnya diisi dengan diskusi, musik, minum, dan persiapan makam hari berikutnya.

Orang-orang dari keluarga bertanggung jawab untuk membunuh hewan dan menyiapkan daging.

Jeroan disiapkan dan disajikan dengan nasi sebagai makan malam untuk anggota keluarga tetapi paru-parunya disediakan khusus untuk menantu laki-laki.

Menari dengan orang mati

Ketika tamu datang ke Famahanana mereka memberikan beras dan uang kepada penyelenggara, atau ‘tompon-draharaha’, melansir Culturetrip.

Jumlah uang dan jumlah beras dicatat pada apa yang dikenal sebagai ‘atero ka alao’, yang secara harfiah berarti ‘memberi sesuatu dan menerimanya kembali’.

Tradisi ini memastikan bahwa ketika para tamu nanti melakukan Famadihana mereka sendiri, maka mereka akan dibayar dan didukung dalam bentuk barang.

Karena pengeluaran dibagi, semua uang dan beras yang terkumpul akan dibagikan kepada semua orang yang telah berkontribusi pada pengeluaran.

Lalu ketika semua tamu telah makan, keluarga tuan rumah mempersiapkan pesta untuk mengunjungi makam.

Sebagai perayana hidup dan menjadi orang tua, orang-orang mengenakan pakaian terbaik mereka.

Sekelompok musisi memainkan terompet, drum, dan seruling Malagasi yang disebut ‘sodina’ untuk menemani pesta dan mengikuti mereka dar desa ke makam.

Sesampai di pemakaman, jenazah dikeluarkan dan ditempatkan di atas tikar buluh.

Keluarga angkat membungkus jenazah dengan kain kafan baru.

Pada saat ini orang dapat menempatkan sesuatu yang disukai mayat tersebut ketika dia masih hidup dengan lembaran baru.

Untuk pria, mungkin rokok atau alkohol, sementara untuk wanita, parfum atau lipstik.

Sedangkan untuk anak-anak, orang biasanya menempatkan permen.

Setelah itu dibungkus, lalu kerabat langsung menari dengan jenazah dan mempersembahkannya kepada pendatang baru di keluarga.

Namun, beberapa tahun terakhir, praktik tersebut telah dikritik dan banyak diserukan untuk dihentikan.

Semakin banyak orang yang meninggalkan tradisi ini dengan keyakinan bahwa praktik tersebut bertentangan dengan beberapa agama.

Festival ini juga semakin mahal untuk dilakukan, dan beberapa media juga mengaitkan dengan penyebaran wabah melaluiu acara Famadihana ini.

Baca Juga: Butuh Waktu Enam Jam Para Suami Persiapkan untuk Pamerkan Diri dengan Mengecat Tubuhnya untuk Mencuri Istri Pria Lain, Inilah Tradisi Curi Istri di Suku Wodaabe Afrika, yang Anut Poligami

Baca Juga: Tradisi ‘Sarung Tangan Semut Peluru’ Suku Satere-Mawe, ‘Siksaan’ Inisiasi Anak Laki-laki Jadi Pria Dewasa, Harus Alami Rasa Sakit Terburuk yang Ditawarkan Hutan Agar Siap Hadapi Bahaya di Hutan

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari

Artikel Terkait