Penulis
Intisari - Online.com -Saat belajar sejarah, tentunya kita jadi mengenal raja-raja dan ratu-ratu kuat sepanjang sejarah.
Sementara kita juga belajar mengenai peperangan yang dimenangkan raja-raja atau takdir yang mereka hadapi, ada banyak fakta mengejutkan tentang seorang pemimpin kerajaan.
Salah satunya adalah tentang raja Thailand.
Ada sebuah konsep "hadiah gajah putih" yang berkembang di masyarakat Inggris yang berarti kepemilikan suatu barang berharga yang tidak punya kegunaan atau nilai tertentu.
Konsep ini memang aneh, tapi sudah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dan ternyata konsep ini berasal dari cara raja Thailand memberi hadiah kepada orang lain.
Melansir vaguelyinteresting.co.uk, gajah putih sebenarnya adalah gajah albino yang langka dan ada di daratan Asia Tenggara.
Gajah ini juga sangat suci sehingga sangat sulit bahkan tidak mungkin untuk membuangnya.
Hal ini membuat penerima hadiah kerajaan ini akhirnya terhuyung-huyung dengan seekor binatang dengan nilai simbolis yang besar dan nilai praktisnya sedikit.
Lebih parah lagi, makhluk ini benar-benar memakan kekayaan pemilik barunya.
Penggunaan pertama dari frase 'gajah putih' dalam bahasa Inggris tertulis dicatat pada abad ketujuh belas sebagai deskripsi literal hewan.
Terjemahan Henry Cogan tahun 1663 tentang 'Pelayaran dan petualangan Fernand Mendez Pinto' menggambarkan "gajah putih tempat dia [Raja Siam] ditunggangi".
Pada pertengahan abad kesembilan belas, frasa tersebut telah membuat lompatan dari literal ke kiasan, dan digunakan untuk menggambarkan pengurasan sumber daya yang mahal.
Dalam sebuah surat tertanggal 1851 , penulis John Galsworthy menulis:
“Jasanya seperti gajah putih yang begitu banyak, yang tidak dapat dimanfaatkan oleh siapa pun, namun itu menguras rasa syukur seseorang, jika memang ia tidak merasa bangkrut.”
Pada awal abad kedua puluh, frasa tersebut telah terlepas dari makna literal apa pun dan digunakan secara luas untuk menggambarkan barang-barang yang biaya dan pemeliharaannya tidak sebanding dengan kegunaan atau nilainya.
Tetapi mengapa gajah putih menjadi sumber pemujaan di Asia Tenggara? Jawabannya ditemukan dalam cerita tradisional seputar kelahiran Sang Buddha :
“Buddha Shakyamuni lahir sebagai pangeran kerajaan pada tahun 624 SM di sebuah tempat bernama Lumbini, yang sekarang disebut Nepal. Nama ibunya adalah Ratu Mayadevi dan nama ayahnya adalah Raja Shuddhodana.
Suatu malam, Ratu Mayadevi bermimpi bahwa seekor gajah putih turun dari surga dan memasuki rahimnya. Gajah putih yang memasuki rahimnya menunjukkan bahwa pada malam itu juga dia telah mengandung seorang anak yang murni dan kuat. Turunnya gajah dari surga menunjukkan bahwa anaknya berasal dari surga Tushita, Tanah Suci Buddha Maitreya.”
Hubungan khusus antara gajah putih dan monarki Thailand (atau Siam) dan Burma terus berlanjut. Kepemilikan seekor gajah putih (dan masih) dianggap sebagai simbol kuat kekuasaan dan keadilan raja dan dipandang sebagai berkah bagi kerajaan.
Thailand masih memelihara Royal Elephant Stable lengkap dengan sepuluh gajah putih dan gajah putih masih ditampilkan dalam panji Angkatan Laut Kerajaan Thailand.
Simbol kekuasaan dan kejayaan
Selama berabad-abad, gajah Asia telah menjadi bagian dari sejarah Thailand di masa baik dan masa perang, ketika mereka memimpin raja-raja Thailand ke medan perang.
Hari ini, gajah yang sekarang terancam punah adalah lambang nasional dengan gambarnya muncul di perangko, koin, bendera Angkatan Laut, arsitektur, dan karya seni Thailand.
Budaya Thailand merayakan gajah sebagai simbol keberuntungan.
Takhayul akan membayar uang untuk lewat di bawah tubuh binatang itu dengan harapan mendapatkan keberuntungan binatang itu.
Selain percaya takhayul, seseorang juga harus berani karena gajah adalah hewan darat terbesar yang ada saat ini.
Gajah Asia, sedikit lebih kecil dari varietas Afrika, dapat berdiri setinggi 11 kaki dan beratnya mencapai 11.000 pon!
Pepatah, “Seekor gajah tidak pernah lupa,” berasal dari kecerdasan dan keyakinan gajah yang terkenal bahwa gajah memikirkan tindakan mereka.
Makhluk cerdas ini juga dikenal karena umur panjangnya—hidup rata-rata 60 tahun di alam liar dan 80 tahun di penangkaran—dan sifat sosial dan menyenangkan mereka.
Menurut legenda Thailand, pernikahan itu seperti gajah.
Suami adalah kaki depan, memilih arah, dan istri adalah kaki belakang, memberikan kekuatan!