Find Us On Social Media :

Kantornya Gagal Sediakan 'Perawan yang Sudah Mateng Kawin', para Pegawai Kompeni Malah Girang, Bisa Hidup Bebas dengan Para Nyai Gara-gara Peraturan Ini

By Muflika Nur Fuaddah, Sabtu, 14 Mei 2022 | 20:02 WIB

(Ilustrasi) Rumah Bordil di Batavia

Prostitusi di Batavia

Melansir Kompas.com, di Batavia, prostitusi sudah dimulai sejak JP Coen membakar Jayakarta dan mendirikan kota baru di atas reruntuhannya.

Penelitian Pusat Penelitian Sumberdaya Regional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PSDR-LIPI) tentang sejarah prostitusi di Jakarta menunjukkan, sejak masa inilah sistem pergundikan yang jadi cikal bakal prostitusi di Jakarta dimulai.

Ridwan Saidi, budayawan, mengatakan, konsentrasi prostitusi pertama di Batavia adalah di kawasan Macao Po, disebut demikian karena pekerja seksnya berasal dari Makao, di sebuah rumah bertingkat di seberang Stasiun Beos.

Mereka didatangkan oleh para germo Portugis dan China untuk menghibur tentara Belanda.

Leonard Blusse dalam buku Persekutuan Aneh: Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC memaparkan, Gubernur Jenderal JP Coen menyadari bahwa manusia tak bisa hidup tanpa wanita.

JP Coen pun harus menghadapi keharusan menyediakan, "perawan-perawan Belanda yang sudah mateng kawin." Perawan-perawan itu tak lain adalah untuk karyawan JP Coen di Timur, termasuk Batavia.

Namun, pada kenyataannya noni-noni Belanda itu gampang merana berada di daerah tropis.

Sejak 1635, dewan komisaris mengubah taktik dan mengikuti cara-cara kolonisasi Portugis, menggalakkan perkawinan dengan perempuan Asia untuk menciptakan perempuan campuran yang patuh khususnya di Batavia.

Peraturan kala itu, seorang pria yang menikah dengan perempuan hitam pribumi tak boleh membawa keluarganya ke Belanda.

Peraturan itu membuat banyak pegawai Kompeni lebih suka hidup dengan nyai-nyai sehingga, kapan saja ia memutuskan kembali ke Belanda, ia bisa membebaskan diri dari ikatan dengan gundik-gundik dan anak-anaknya untuk kemudian di negeri sendiri memilih istri yang diimpi-impikan.

Sistem pergundikan ini sudah ada sejak sebelum Belanda tiba, dan menurut Blusse, sistem ini ditentang para pembesar gereja di Batavia.