Find Us On Social Media :

Rupert Murdoch, 'Buldoser' dari Selatan

By Agus Surono, Jumat, 5 Oktober 2012 | 19:00 WIB

Rupert Murdoch, 'Buldoser' dari Selatan

Karena ingin membentuk anak laki-laki satu-satunya menjadi pria tangguh, Elisabeth mengharuskan Rupert setiap malam di musim panas tidur di rumah pohon. "Saya pikir tidur di luar memberi pengaruh baik pada Rupert. Rumah itu cukup tinggi di atas pohon dan tidak berlampu." Lucunya Rupert sendiri menganggap kisah ibunya itu dongeng semata. Musim panas di Cruden biasanya amat gerah, sehingga baginya rumah pohon itu terasa amat nyaman.

Selain itu Rupert dipengaruhi oleh kedua kakeknya. Kalau kakek Patrick Murdoch berpembawaan tenang, kakek Rupert Greene lain lagi. Oleh para cucu ia dipanggil "Pop Greene". Walaupun, atau mungkin justru, karena dilarang menantunya, ia sering mengajak mereka bermain, membelikan es krim, atau melakukan kenakalan. Ia izinkan mereka mengemudikan mobilnya, sementara kaki mereka belum cukup panjang untuk menyentuh pedal. Malah Helen benar-benar pernah menabrakkan mobil itu ke pagar.

Mengenai sifat-sifat anak lelaki satu-satunya, Elisabeth sendiri menyimpulkan, "Dari pihak Keith, ia murni bersifat Skot yang membawa pengaruh baik. Tapi Rupert memperoleh naluri berjudinya dari ayah saya."

Kulit dan kotoran hewan

Pada tahun 1938, ketika Sir Keith sudah sakit-sakitan, terutama karena gangguan jantung, ia membeli peternakan domba di Sungai Murrumbidgee dekat Wagga Wagga. Bayangkanlah 800 ha daratan rendah yang dikitari 5.600 ha perbukitan batu karang. Di sanalah, sambil duduk mengitari api unggun, Rupert dan Helen menyimak dongeng-dongeng fantastik tentang para pengawas padang. "Membuat saya selalu terkenang akan pedalaman Australia," kenang Rupert.

Di sana pula Rupert mulai menampakkan bakat wiraswastanya. Bersama Helen, kalau tidak berkuda seharian, ia berburu kelinci dan tikus air untuk dijual kulitnya. Sebenarnya kulit tikus airlah yang mahal, sayang ini yang paling sulit didapat. Hanya saja jika prosedur penangkapan merupakan bagian tersulit, menguliti hewan tangkapan mereka adalah bagian paling tak sedap dan ini diberikan kepada Helen. Rupert menjual tiap kulit seharga 6 pence dan Helen hanya dibagi 1 pence per kulit.

Di Cruden, Rupert tak cuma berdagang kulit kelinci, tapi juga mengumpulkan kotoran hewan. Lagi-lagi dia memanfaatkan kakak dan adiknya untuk mengumpulkan kotoran hewan di kandang kuda dan pantai. Rupert menjualnya kepada nyonya tua yang membutuhkan untuk pupuk. "Bisnis Rupert diawali dengan kelinci dan kotoran hewan. Tapi saya tidak pernah melihat hasilnya, karena ia ludeskan untuk berjudi di sekolah," ujar Helen. Begitulah, Rupert memang mewarisi "sedikit" sifat Pop Greene.

Di luar bakat dagangnya yang menonjol, ia anak yang biasa-biasa saja. "Tak suka dongeng atau permainan pura-pura jadi ini dan itu. Ia seperti kucing yang lebih suka berjalan sendiri," kata Helen. Pada usia 10 tahun, atas desakan ibunya Rupert dikirim ke sekolah berasrama Geelong Grammar. Kekhawatiran ayahnya terbukti. Rupert tidak betah di sana. Selain karena tidak aktif dalam olahraga, ia kurang disuka karena ia putera Sir Keith. "Di sekolah saya tidak punya kawan," kenang Rupert.

Memang banyak tokoh dari kalangan mapan di Melbourne yang kurang suka kepada Keith. Saat itulah Rupert mulai mengerti bahwa pemilik koran yang berpengaruh jarang sekali disukai orang. Pengalaman dikucilkan itu ternyata membekas dalam. "Saya jadi sadar bila kita ingin menjadi penerbit atau tokoh media, kita harus berani mandiri. Jangan berteman baik dengan siapa pun, supaya jangan sampai harus berkompromi hanya karena hubungan dekat. Saya jadi sadar, pemilik koran berpengaruh tidak dipandang sama seperti usahawan lain atau petani yang sukses."

Saat di Geelong ia salurkan naluri berjudinya pada pacuan kuda. Di tahun 1947, ia tamat, tapi masa tinggalnya diperpanjang selama setahun lagi. la menerbitkan kembali sebuah majalah sekolah, If, yang sudah mati, sampai dua nomor.

Menurut rekan sekolahnya, Rupert adalah penganut sayap kiri yang kuat, bertentangan dengan politik yang dianut Herald koran ayahnya yang antiburuh. Keagresifan dia salurkan dengan bergabung dalam kelompok debat. Segala macam soal diperdebatkan di sana, dari masalah sekolah swasta, gaya hidup sampai perdagangan bebas. Pandangannya selalu antikemapanan.

Mewah tapi sosialis