Find Us On Social Media :

Rupert Murdoch, 'Buldoser' dari Selatan

By Agus Surono, Jumat, 5 Oktober 2012 | 19:00 WIB

Rupert Murdoch, 'Buldoser' dari Selatan

Rupert masih berumur sembilan tahun ketika kakeknya, Pendeta Patrick John Murdoch, meninggal pada tahun 1940. Patrick dan istrinya, Annie, dikaruniai tujuh orang anak. Rupert adalah cucunya dari anak ketiga, Keith, lahir tahun 1885. Meski menderita gagap, Keith tumbuh menjadi wartawan tangguh.

Salah satu prestasi besarnya adalah ketika meliput ketidakkompetenan tentara Inggris dalam perang Gallipoli. Dalam perang ini 16.000 tentara Australia dan Selandia Baru dilindas tentara Turki yang dikomandoi Mustafa Kemal. Berkat peliputannya, komandan Inggris dipanggil pulang dan perang tersebut dihentikan. Peranannya yang hebat itu dikenang oleh koran The Times di London tanggal 3 Maret 1990 dalam tulisan berjudul "Wartawan yang menghentikan Sebuah Perang" dalam rangka memperingati 75 tahun Perang Gallipoli. Bagi orang Australia Keith Murdoch adalah pahlawan.

Pada tahun 1920 Keith menjadi editor di Herald, sebuah koran sore di Melbourne dan berhasil meningkatkan oplahnya dari 100.000 menjadi 140.000 hanya dalam waktu satu tahun. Resepnya: sensasi. Tak heran, koran Keith dijuluki "koran kuning".

Pendekatan Keith yang agresif dan kompetitif menular pula pada koran-koran lain. Begitu pula akhir tahun 1920-an, Keith berhasil melebarkan sayap Kelompok Herald dengan meluncurkan tujuh terbitan lain di pelbagai bidang. Bahkan pada tahun 1925, Herald membeli koran saingannya, Sun News-Pictorial, yang kemudian menjadi koran paling menguntungkan dalam perusahaannya.

Keith menikah dengan Elisabeth Greene tiga tahun kemudian. Ketika tahun 1932 keluarga Murdoch pindah dari South Yarra ke daerah pinggiran di Toorak, perusahaannya lebih berkembang pesat dengan membawahi banyak koran dan stasiun radio, bahkan tiga percetakan koran. Mereka membeli sekitar 36,5 ha tanah, sekitar 30 mil dari Melbourne, yang kemudian disebut Cruden Farm. Masa kecil anakanak Murdoch yaitu Helen (lahir 1929), Rupert (1931), Anne (1935), dan Janet (1939) dihabiskan di sana.

Banyak yang mengatakan ambisi dan kegelisahan yang menjadi ciri kepribadian Rupert Murdoch timbul karena sejak kecil ia haus kasih sayang ayah. Ibunya pun selalu sibuk. Mereka lekas menemukan kesalahan, pelit dengan pujian, jarang menunjukkan kasih sayang. Bahkan setelah sukses, dalam wawancara televisi Rupert mengatakan, bagi ayahnya dulu ia "anak tolol".

Namun Rupert sangat mengidolakan ayahnya, "Ayah memanjakan kami, sedangkan Ibu amat keras. la selalu khawatir Ayah akan merusak kami."

Tidur di rumah pohon

Sejak kecil Rupert telah merasakan kekuasaan dan keasyikan yang dinikmati ayahnya dari dunia koran. la sering diajak melihat-lihat kantor Herald di Flinders Street. Aroma tinta, gemuruhnya mesin pres, dan suasana sibuk di sana sudah menggaet hati si Murdoch cilik.

"Kehidupan penerbit itu paling hebat di dunia. Kalau kita sudah diperkenalkan sejak kecil pada dunia ini, bagaimana tidak tertarik?" demikian kilahnya. Pada akhir minggu, ia senang berbaring di ranjang ayahnya, mengamati sang ayah membolak-balik koran untuk menandai berita yang baik dan buruk.

Ibunya sendiri, yang kemudian menjadi Lady Murdoch, menerapkan standar yang amat tinggi pada anak-anaknya. la ingin dalam jiwa anak-anaknya tertanam kesadaran akan tugas dan kewajiban. Bahwa uang dan hadiah hams diperoleh melalui perjuangan. Tidak boleh ada yang diterima dengan cuma-cuma.

Namun dalam keseharian, para pengasuh anaklah yang bicara. Seperti sudah diduga, adalah seorang Nanny Russel, yang merupakan figur ibu bagi anak-anak Murdoch. Pengasuh yang setia ini amat lembut. Bahkan ibu Rupert sendiri mengakui, "Nanny Russel amat besar pengaruhnyapada anak-anak kami." Namun sejak tahun 1936 ia dibantu oleh Miss Kimpton, guru privat yang sampai sekarang masih dekat dengan keluarga Murdoch.