Find Us On Social Media :

Titip Umur di Alcatraz (1)

By Agus Surono, Sabtu, 6 Oktober 2012 | 12:00 WIB

Titip Umur di Alcatraz (1)

Intisari-Online.com - Ada yang bilang Penjara Alcatraz masih kurang seram dibandingkan dengan Penjara Marion di Illinois, AS. Namun pengalaman Jim Quillen di sana sebagai narapidana selama sepuluh tahun, yang dituturkannya dalam Alcatraz from Inside (1991), tetap saja tidak mengurangi kengerian orangpada nama Alcatraz yang sudah telanjur melegenda.

Alcatraz, pukul 23.30, 28 Agustus 1942. Pintu baja tertutup dengan bunyi berdebam. Saya masuk ke dalam sel yang akan menjadi rumah saya selama 45 tahun. Sel itu tidak besar, cuma sekitar 1,8 x 2,7 x 2,1 m. Ruang serba abu-abu dan suram itu dilengkapi dengan ranjang baja, kasur, jerami, dan sebuah bantal yang tipis dan kumal. Penerangannya cukup lampu gang.

Sel itu dilengkapi dengan kloset. Di ujung ranjang, di sebelah kloset, ada wastafel dengan satu kran. Air dingin! Di atasnya ada rak satu lapis yang melebar sepanjang dinding sel. Ruangan itu serasa hendak menelan saya. Bau tinta nomor identitas saya (A2586) pada pakaian dan perlengkapan tidur amat menyengat.

Sel saya tak cuma gelap dan suram, namun juga dingin dan berangin. Ketika sedang membereskan tempat tidur, kilasan lampu senter menyilaukan saya. Penjaga sedang menghitung jumlah napi. Ia bertanya mengapa saya masih berpakaian lengkap dan belum tidur. Saya katakan saya baru saja tiba. Katanya, kalau saya tidak segera ganti pakaian dan tidur dalam beberapa menit, saya akan merasakan apa itu yang disebut hole.

Sudah tentu saya buru-buru membereskan diri dan pergi tidur. Saya coba mengingat-ingat kembali segala pengetahuan tentang Alcatraz yang pernah saya dengar. Sayang, tak satu pun yang membangkitkan semangat. Angan-angan saya melayang menapaki kembali jalan hidup yang telah membawa saya ke tempat menyeramkan ini dalam usia 22 tahun.

Ayah saya bukan jenis orang yang dapat mengutarakan kasih sayang. Sebagai pekerja ia penuh dedikasi, sebagai ayah ia pendiam, amat disiplin, dan cenderung menggunakan hukuman fisik. Ibu saya amat cantik. Sayang, ia mempunyai masalah yang juga amat besar: kecanduan alkohol. Gara-gara kecanduannya itu, priorotas dalam hidupnya adalah alkohol, suami, baru anak-anak.

Dari kos ke kos

Sampai sekarang saya hanya mempunyai tiga kenangan akan ibu yang semuanya berkaitan dengan kekerasan. Yang pertama, tanpa alasan jelas ibu menghantam kepala ayah dengan kayu bakar. Yang kedua kalinya ketika ia meninggalkan kami (ayah, Kay adik saya, dan saya) di tengah malam, setelah membuka semua keran gas dan menutup sela-sela pintu.

Sejak peristiwa itu ayah baru sadar, ibu tak mungkin menjadi istri dan ibu yang baik. Hidup kami beralih dari kos yang satu ke yang lain. Karena saya lebih betah di rumah sendiri, belakangan hanya Kay yang dititipkan. Sayang, kemudian ayah ikut sekolah malam. Saya sendiri dari pukul 18.00 - 2300, bahkan kadang-kadang lebih larut lagi dari itu. Saya jadi anak jalanan, bergabung dengan geng yang sering keluyuran di pelabuhan, untuk membongkar gerbong barang.

Kenangan ketiga terjadi ketika ayah mengajak saya menengok ibu yang menurut seorang penelepon sedang sekarat dan amat ingin bertemu dengan saya. Ternyata itu tipuan belaka. Ibu justru dalam kondisi mabuk berat, awut-awutan, dan berteriak-teriak. Entahlah, sejak itu pula saya merasakan perbedaan sikap ayah terhadap saya, dan perbedaan sikap yang amat nyata pula dalam cara pandangnya terhadap dunia.

Ayah mulai minum, walaupun tak sampai mabuk. la pulang semakin larut, bahkan makin sering tak pulang. Hubungan kami makin tegang. Saya merasa semakin menjadi beban yang berat bagi ayah. Saya tidak tahu apakah perkiraan saya itu benar, hanya saja, bila saya ingat apa saja yang diusahakannya untuk saya, rasanya semasa muda dulu saya kurang menghargai dia.

Ketika ayah memutuskan akan menceraikan ibu, Kay dan saya berada di bawah perlindungan pengadilan. Maka kini harus tinggal di sebuah rumah tahanan di Martinez. Hanya kami berdua yang masih kanak-kanak. Itu pengalaman pertama tinggal di suatu tempat ketika saya tak bebas pulang- pergi. Jendelanya ditutup kawat. Pada malam hari saya berpisah dari Kay. Saya menempati kamar tersendiri, di dekat ruang bermain kami. Banyak orang datang dan pergi, tapi saya toh merasa sepi.