Find Us On Social Media :

Penduduk Desa di Temanggung, Hidup Tanpa Beras Tak Masalah

By Moh Habib Asyhad, Senin, 12 September 2016 | 15:00 WIB

Penduduk Desa di Temanggung, Hidup Tanpa Beras Tak Masalah

Intisari-Online.comTak sekadar sebagai pakan ternak, jagung bagi masyarakat di Desa Sigedong, Tretep, Temanggung, adalah makanan pokok. Ia telah menghidupi masyarakat di desa terpencil itu secara turun-temurun. Dari bayi-bayi yang baru lahir, hingga orang-orang renta yang ompong giginya.

--- 

Siang itu jalanan di Desa Sigedong yang di beberapa bagiannya berlubang-lubang terlihat sangat lengang. Hanya ada satu-dua orang yang terlihat sibuk menyiangi ladang yang sudah mulai ditanami tembakau. Saat itu sudah masuk musim tanam tembakau. Hari itu, sebagian masyarakat Desa Sigedong hari tengah berbondong-bondong pergi ke kantor kecamatan; sedang ada pembagian Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM)—orang-orang di sana lebih suka menyebutnya “balsem”—di sana.

Sekilas, Desa Sigedong tidak berbeda dengan desa-desa dataran tinggi lainnya. Rumah berdiri jarang-jarang, batas antara pekarangan dan tegalan tidak jelas, jalanan berkelok dan naik turun; tapi jika diperhatikan lebih dalam, ada satu hal khas dan serempak yang bisa ditemukan di hampir setiap rumah yang ada di desa yang terletak di ketinggian 1.210 meter di atas permukaan laut  (mdpl) itu: tumpukan tebon (pohon jagung) yang sudah mengering.

Benar, Sigedong adalah satu di antara beberapa wilayah penghasil jagung terbesar di Temanggung yang pada 2013 produksinya mencapai 139.394 ton.

Jagung, bagi orang-orang Sigedong, tidak sekadar sebagai pakan ternak, tapi lebih dari itu. Bagi masyarakat Sigedong, seluruh elemen jagung memiliki manfaat. Daunnya untuk pakan ternak, bijinya untuk bahan makanan pokok (sekelan), sementara tongkol dan pohonnya berfungsi sebagai kayu bakar.

Jagung adalah makanan pokok sehari-hari masyarakat Desa Sigedong. Posisinya sejajar dengan beras di tempat-tempat lain. Desa Sigedong adalah satu dari sedikit anomali perihal persoalan makanan pokok di Indonesia, khususnya Jawa.

Ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap beras bisa dibilang cukup kronis. Bayangkan, hingga kini, Indonesaia adalah negara dengan konsumsi beras tertinggi di dunia. Data Kementerian Pertanian 2010 menunjukkan, konsumsi beras di Indonesi jauh di atas Malaysia dan Thailand yang masing-masing tingkat konsumsi berasnya adalah 80 kg per kapita dan 70 kg kg per kapita. Jauh juga di atas konsumsi rata-rata dunia yaitu 60 kg per kapita.  

Suswono (Menteri Pertanian periode 2009 – 2014), pada 2014 mengatakan, konsumsi beras masyarakat Indonesia mencapai lebih dari 130 kilogram per kapita. Angka itu dapat kita tafsirkan dengan, saban harinya, masyarakat Indonesia mengonsumsi beras padi sekitar 900 gram.

Data lainnya menyebut, pada 2013, lebih dari 78 persen masyarakat Indonesaia menggantungkan hidupnya pada beras alias makan beras. Coba bandingkan dengan yang terjadi pada 1954, di mana hanya 53 persen masyarakat Indonesia yang bergantung pada beras. Itu artinya, ada lompatan yang cukup signifikan.

Tanpa jagung baru masalah

Secara administratif, Desa Sigedong terletak di Kecamatan Tretep, sebuah kecamatan yang terhitung baru di Kabupaten Temanggung. Dulu Tretep adalah bagian dari Kecamatan Wonoboyo, tapi setelah adalah pemekaran di Temanggung di awal 2000-an, Tretep menjadi kecamatan sendiri. 

Desa Sigedong berada di lereng Gunung Sindoro bagian selatan. Desa ini berjarak sekitar 5 km dari ibu kota kecamtan dan 52 km dari Ibukota Kabupaten Temanggung.  Kondisi ini menjadikan Sigedong sebagai desa yang sangat terpencil sementara akses ke sana sangat terbatas. Hanya ada beberapa mobil pick up terbuka yang biasa mengangkut masyarakat yang hendak hilir mudik ke daerah-daerah sekitar, tapi itu pun tidak beroperasi sepanjang hari.

Sebanyak 1666 penduduk, terdiri atas 350 kepala keluarga, tinggal di desa dengan luas 277 hektar ini. Luas itu sendiri sudah meliputi bangunan, pekarangan, tegalan, ladang, huma, hutan rakyat, dan perkebunan negara/rakyat. Sebagai desa yang terletak di dataran tinggi, Sigedong adalah penghasil sayur-sayuran, juga kopi yang berjenis robusta. Meski demikian, tanaman “utama” desa ini adalah jagung dan tembakau.

“Jika tembakau—jenis temloko—berperan sebagai sumber uang terbesar, maka jagung adalah sumber makanan pokok. Keduanya ditanam secara selang-seling, sementara kopi adalah tanaman tahunan yang sering berfungsi sebagai penahan agar tanah tidak erosi,” ujar Sarjeh, Kepala Urusan Umum (KAUR Umum) Desa Sigedong. Tapi ia membuat penekanan, “Tanpa uang kami tidak terlalu masalah, tapi jika tidak ada empan, sekelan, itu baru masalah.”

Kalimat terakhir tentu saja disampaikan dengan sedikit berkelakar.

 

Nasi jagung Desa Sigedong tak ubahnya nasi jagung yang ada di tempat lain. Pun dengan prosesnya. “Yang membuatnya berbeda adalah perannya. Di sini nasi jagung adalah makan pokok sementara di tempat lain masih berperan sebagai makanan kedua,” lanjut pria 40 tahun itu.

Apa yang diutarakan oleh Sarjeh diamini oleh Mujahidin, Kepala Desa Sigedong. Ia bercerita panjang lebar tentang hal-hal yang berkaitan dengan nasi jagung di Sigedong, termasuk membenarkan cerita Sarjeh tentang penghargaan Ketahanan Pangan yang diterima desa itu pada 2009 silam.

Pada 2009 lalu, Desa Sigedong pernah mendapat penghargaan dari Kementerian Pertanian untuk kategori ketahanan pangan. Kepala desa Sigedong waktu itu, Jariyah, secara khusus datang ke Jakarta untuk menerima penghargaan tersebut. “Pialanya diserahkan langsung oleh Pak Boediono, Wakil Presiden,” sebagai warga Sigedong, Sarjeh bangga.

Mayoritas masyarakat Sigedong adalah konsumen sekelan. Laki-laki dan perempuan, dari bayi-bayi yang baru lahir hingga orang-orang tua yang giginya tinggal dua, semuanya terbiasa bergantung pada sekelan yang mereka simpan di dalam bagor-bagor yang ada di dapur rumah mereka. Ssstttt...! Tapi mereka tidak alergi dengan beras biasa, lho...

Sarjeh misalnya, ia kerap makan nasi beras jika harus pergi ke luar Sigedong. Ke kota atau ketika sedang berada di warung yang kebetulan tidak menjual sekelan, misalnya. Tapi apa pun alasannya, Sarjeh mengaku bahwa sekelan memberinya tenaga lebih besar dibanding beras.

“Nasi jagung rasanya lebih anteng di perut, lebih cepat kenyang, badan juga lebih brigas, sementara kalau makan nasi beras saya merasa cepat ngelih,” Qomari, 58, salah satu Kebayan di Sigedong, tiba-tiba menyahut sembari menyalakan kretek lintingnya. “Selain itu, saya juga pernah dengar dari seorang doktor (ilmu pangan) di UGM kalau beras jagung cocok untuk penderita diabetes.”

Yang diolah jagung lokal

Jagung yang biasanya digunakan sebagai bahan sekelan adalah jenis jagung lokal yang memiliki biji putih kecil-kecil. Jagung ini biasa disebut flint corn alias jagung mutiara. Ciri khas jagung ini adalah bijinya berbentuk bulat, licin, mengkilap, dan keras.

Ada beberapa proses yang harus dilalui sebelum biji jagung tersebut resmi menjadi sekelan alias tepung jagung. Di Sigedong, setelah dipanen dan dipilih yang terbagus, jagung mula-mula akan diletakkan di parang, sejenis tempat untuk mengeringkan jagung. Bukan dikeringkan di bawah terik mentari, jagung yang ada di dalam parang itu dipanasi dengan api, setelah itu jagung dikupas dan dipipil.

Selanjutnya adalah proses nutu – di tempat lain disebut juga ngecrok. Keduanya sama-sama proses memisahkan biji inti jagung dari kulit arinya. Setelah itu jagung digiling alias diselep menjadi tepung jagung. Inilah yang disebut sekelan yang akan dimasukkan ke dalam plastik besar, diikat, lantas disimpan di dalam bagor untuk dikonsumsi satu satu hingga tiga tahun ke depan.

Sekali lagi, mayoritas penduduk Sigedong adalah konsumen sekelan, tapi bukan berarti persoalan kebutuhan pokok selamanya lancar. Dari cerita yang dipaparkan oleh Qomari diketahui, tidak saban tahun panen jagung bisa berlangsung sesuai keinginan. “Tahun ini bisa 100 pikul, tahun besok hanya 50. Tidak tentu. Kadang tidak panen sama sekali karena satu-dua hal. Yang jelas, semakin banyak panen, semakin banyak sekelan yang bakal ditimbun nantinya.” Jika sedang beruntung, Qomari mengaku bisa menyimpan sekelan untuk tiga tahun ke depan.

Ada kalanya harga jagung tiba-tiba melonjak tidak terkontrol. Harga yang tinggi memang menguntungkan bagi penjual jagung, tapi tidak bagi beberapa warga Sigedong yang biasa nempur. Tidak semua warga Sigedong punya lahan jagung; belum lagi mereka yang gagal panen yang mau tidak mau harus menempur beras ke tetangganya yang lain.

Persoalan lain yang dihadapi masyarakat Sigedong adalah mesin penggiling. Seperti yang diutarakan oleh Kepala Desa Sigedong, Mujahidin, hingga saat ini mesin penggiling yang menggunakan mesin diesel baru ada satu dan itu tentu saja itu sangat kurang untuk memenuhi kebutuhan 350 kepala keluarga yang adai Sigedong.

“Selama ini mesin giling yang kami gunakan adalah mesin giling manual. Harapannya ada bantuan mesin giling diesel untuk mempermudah proses pembuatan sekelan,” tutur pria yang baru dua tahun menjadi Kepala Desa ini.

Sudah ada sekelan instan

Meski bukan konsumen utama jagung, pada sisi bisnis masyarakat di Dusun Mantenan, Desa Greges , Kecamatan Tembarak, selangkah lebih maju dibanding masyarakat Desa Sigedong. Isu ketahanan pangan yang digembor-gemborkan pemerintah dianggap sebagai sebuah peluang untuk memunculkan peluang bisnis. Mereka membuat sekelan instan. Di dusun yang terletak di lereng Gunung Sumbing itu terdapat sebuah pabrik pengolahan jagung skala rumahan, bernama Pandawa.

 

Pabrik tersebut didirikan oleh Pak Sabar pada 2013 silam. Jika sekelan di Sigedong berbentuk tepung, maka sekelan di Mantenan bentuknya mutiara. Secara umum,  proses pembuatan sekelan di Mantenan tidak berbeda dengan sekelan yang ada di Sigedong. Meski demikian, di Mantenan lebih kompleks dan panjang.

Pak Sabar meninggal belum lama ini, oleh sebab itu pabrik sepenuhnya dipegang oleh menantunya, Cecep, yang juga berprofesi sebagai seorang guru. Untuk menjalankan proses pengolahan, ada lima pekerja yang bekerja di pabrik sederhana itu.

Ada peraturan unik yang harus ditaati oleh para pekerja di pabrik pembuatan sekelan jagung instan itu: saat berada di pabrik, seluruh pekerja harus makan sekelan. Timah, salah satu pekerja di pabrik tersebut, mengaku, setiap hari ia harus masak dua kali: masak beras biasa untuk suami dan anak-anak di rumah dan masak sekelan untuk brkal dirinya di pabrik.

“Sebanarnya kami juga ingin mengajak anak-anak kami ikut mengonsumsi sekelan, tapi mereka sepertinya masih belum mau. Mereka juga masih menganggap bahwa nasi jagung itu makanannnya orang-orang kuni, orang-orang gunung,” tutur Timah.

Timah, begitu pun dengan rekan-rekannya di pabrik, memang punya mimpi; suatu saat, tidak hanya mereka, para orang tua, yang mengonsumsi nasi jagung tapi juga anak-anak mereka. Terlebih, produksi jagung di Temanggung bisa dibilang tidak sedikit. Selain itu, tak sekadar sebagai pakan ternak, lalu makanan pokok, beras jagung juga berpotensi mendatangkan untung.