Find Us On Social Media :

Penduduk Desa di Temanggung, Hidup Tanpa Beras Tak Masalah

By Moh Habib Asyhad, Senin, 12 September 2016 | 15:00 WIB

Penduduk Desa di Temanggung, Hidup Tanpa Beras Tak Masalah

Ada beberapa proses yang harus dilalui sebelum biji jagung tersebut resmi menjadi sekelan alias tepung jagung. Di Sigedong, setelah dipanen dan dipilih yang terbagus, jagung mula-mula akan diletakkan di parang, sejenis tempat untuk mengeringkan jagung. Bukan dikeringkan di bawah terik mentari, jagung yang ada di dalam parang itu dipanasi dengan api, setelah itu jagung dikupas dan dipipil.

Selanjutnya adalah proses nutu – di tempat lain disebut juga ngecrok. Keduanya sama-sama proses memisahkan biji inti jagung dari kulit arinya. Setelah itu jagung digiling alias diselep menjadi tepung jagung. Inilah yang disebut sekelan yang akan dimasukkan ke dalam plastik besar, diikat, lantas disimpan di dalam bagor untuk dikonsumsi satu satu hingga tiga tahun ke depan.

Sekali lagi, mayoritas penduduk Sigedong adalah konsumen sekelan, tapi bukan berarti persoalan kebutuhan pokok selamanya lancar. Dari cerita yang dipaparkan oleh Qomari diketahui, tidak saban tahun panen jagung bisa berlangsung sesuai keinginan. “Tahun ini bisa 100 pikul, tahun besok hanya 50. Tidak tentu. Kadang tidak panen sama sekali karena satu-dua hal. Yang jelas, semakin banyak panen, semakin banyak sekelan yang bakal ditimbun nantinya.” Jika sedang beruntung, Qomari mengaku bisa menyimpan sekelan untuk tiga tahun ke depan.

Ada kalanya harga jagung tiba-tiba melonjak tidak terkontrol. Harga yang tinggi memang menguntungkan bagi penjual jagung, tapi tidak bagi beberapa warga Sigedong yang biasa nempur. Tidak semua warga Sigedong punya lahan jagung; belum lagi mereka yang gagal panen yang mau tidak mau harus menempur beras ke tetangganya yang lain.

Persoalan lain yang dihadapi masyarakat Sigedong adalah mesin penggiling. Seperti yang diutarakan oleh Kepala Desa Sigedong, Mujahidin, hingga saat ini mesin penggiling yang menggunakan mesin diesel baru ada satu dan itu tentu saja itu sangat kurang untuk memenuhi kebutuhan 350 kepala keluarga yang adai Sigedong.

“Selama ini mesin giling yang kami gunakan adalah mesin giling manual. Harapannya ada bantuan mesin giling diesel untuk mempermudah proses pembuatan sekelan,” tutur pria yang baru dua tahun menjadi Kepala Desa ini.

Sudah ada sekelan instan

Meski bukan konsumen utama jagung, pada sisi bisnis masyarakat di Dusun Mantenan, Desa Greges , Kecamatan Tembarak, selangkah lebih maju dibanding masyarakat Desa Sigedong. Isu ketahanan pangan yang digembor-gemborkan pemerintah dianggap sebagai sebuah peluang untuk memunculkan peluang bisnis. Mereka membuat sekelan instan. Di dusun yang terletak di lereng Gunung Sumbing itu terdapat sebuah pabrik pengolahan jagung skala rumahan, bernama Pandawa.

 

Pabrik tersebut didirikan oleh Pak Sabar pada 2013 silam. Jika sekelan di Sigedong berbentuk tepung, maka sekelan di Mantenan bentuknya mutiara. Secara umum,  proses pembuatan sekelan di Mantenan tidak berbeda dengan sekelan yang ada di Sigedong. Meski demikian, di Mantenan lebih kompleks dan panjang.

Pak Sabar meninggal belum lama ini, oleh sebab itu pabrik sepenuhnya dipegang oleh menantunya, Cecep, yang juga berprofesi sebagai seorang guru. Untuk menjalankan proses pengolahan, ada lima pekerja yang bekerja di pabrik sederhana itu.

Ada peraturan unik yang harus ditaati oleh para pekerja di pabrik pembuatan sekelan jagung instan itu: saat berada di pabrik, seluruh pekerja harus makan sekelan. Timah, salah satu pekerja di pabrik tersebut, mengaku, setiap hari ia harus masak dua kali: masak beras biasa untuk suami dan anak-anak di rumah dan masak sekelan untuk brkal dirinya di pabrik.

“Sebanarnya kami juga ingin mengajak anak-anak kami ikut mengonsumsi sekelan, tapi mereka sepertinya masih belum mau. Mereka juga masih menganggap bahwa nasi jagung itu makanannnya orang-orang kuni, orang-orang gunung,” tutur Timah.

Timah, begitu pun dengan rekan-rekannya di pabrik, memang punya mimpi; suatu saat, tidak hanya mereka, para orang tua, yang mengonsumsi nasi jagung tapi juga anak-anak mereka. Terlebih, produksi jagung di Temanggung bisa dibilang tidak sedikit. Selain itu, tak sekadar sebagai pakan ternak, lalu makanan pokok, beras jagung juga berpotensi mendatangkan untung.