Find Us On Social Media :

Penduduk Desa di Temanggung, Hidup Tanpa Beras Tak Masalah

By Moh Habib Asyhad, Senin, 12 September 2016 | 15:00 WIB

Penduduk Desa di Temanggung, Hidup Tanpa Beras Tak Masalah

Desa Sigedong berada di lereng Gunung Sindoro bagian selatan. Desa ini berjarak sekitar 5 km dari ibu kota kecamtan dan 52 km dari Ibukota Kabupaten Temanggung.  Kondisi ini menjadikan Sigedong sebagai desa yang sangat terpencil sementara akses ke sana sangat terbatas. Hanya ada beberapa mobil pick up terbuka yang biasa mengangkut masyarakat yang hendak hilir mudik ke daerah-daerah sekitar, tapi itu pun tidak beroperasi sepanjang hari.

Sebanyak 1666 penduduk, terdiri atas 350 kepala keluarga, tinggal di desa dengan luas 277 hektar ini. Luas itu sendiri sudah meliputi bangunan, pekarangan, tegalan, ladang, huma, hutan rakyat, dan perkebunan negara/rakyat. Sebagai desa yang terletak di dataran tinggi, Sigedong adalah penghasil sayur-sayuran, juga kopi yang berjenis robusta. Meski demikian, tanaman “utama” desa ini adalah jagung dan tembakau.

“Jika tembakau—jenis temloko—berperan sebagai sumber uang terbesar, maka jagung adalah sumber makanan pokok. Keduanya ditanam secara selang-seling, sementara kopi adalah tanaman tahunan yang sering berfungsi sebagai penahan agar tanah tidak erosi,” ujar Sarjeh, Kepala Urusan Umum (KAUR Umum) Desa Sigedong. Tapi ia membuat penekanan, “Tanpa uang kami tidak terlalu masalah, tapi jika tidak ada empan, sekelan, itu baru masalah.”

Kalimat terakhir tentu saja disampaikan dengan sedikit berkelakar.

 

Nasi jagung Desa Sigedong tak ubahnya nasi jagung yang ada di tempat lain. Pun dengan prosesnya. “Yang membuatnya berbeda adalah perannya. Di sini nasi jagung adalah makan pokok sementara di tempat lain masih berperan sebagai makanan kedua,” lanjut pria 40 tahun itu.

Apa yang diutarakan oleh Sarjeh diamini oleh Mujahidin, Kepala Desa Sigedong. Ia bercerita panjang lebar tentang hal-hal yang berkaitan dengan nasi jagung di Sigedong, termasuk membenarkan cerita Sarjeh tentang penghargaan Ketahanan Pangan yang diterima desa itu pada 2009 silam.

Pada 2009 lalu, Desa Sigedong pernah mendapat penghargaan dari Kementerian Pertanian untuk kategori ketahanan pangan. Kepala desa Sigedong waktu itu, Jariyah, secara khusus datang ke Jakarta untuk menerima penghargaan tersebut. “Pialanya diserahkan langsung oleh Pak Boediono, Wakil Presiden,” sebagai warga Sigedong, Sarjeh bangga.

Mayoritas masyarakat Sigedong adalah konsumen sekelan. Laki-laki dan perempuan, dari bayi-bayi yang baru lahir hingga orang-orang tua yang giginya tinggal dua, semuanya terbiasa bergantung pada sekelan yang mereka simpan di dalam bagor-bagor yang ada di dapur rumah mereka. Ssstttt...! Tapi mereka tidak alergi dengan beras biasa, lho...

Sarjeh misalnya, ia kerap makan nasi beras jika harus pergi ke luar Sigedong. Ke kota atau ketika sedang berada di warung yang kebetulan tidak menjual sekelan, misalnya. Tapi apa pun alasannya, Sarjeh mengaku bahwa sekelan memberinya tenaga lebih besar dibanding beras.

“Nasi jagung rasanya lebih anteng di perut, lebih cepat kenyang, badan juga lebih brigas, sementara kalau makan nasi beras saya merasa cepat ngelih,” Qomari, 58, salah satu Kebayan di Sigedong, tiba-tiba menyahut sembari menyalakan kretek lintingnya. “Selain itu, saya juga pernah dengar dari seorang doktor (ilmu pangan) di UGM kalau beras jagung cocok untuk penderita diabetes.”

Yang diolah jagung lokal

Jagung yang biasanya digunakan sebagai bahan sekelan adalah jenis jagung lokal yang memiliki biji putih kecil-kecil. Jagung ini biasa disebut flint corn alias jagung mutiara. Ciri khas jagung ini adalah bijinya berbentuk bulat, licin, mengkilap, dan keras.