Penulis
Intisari-Online.com - Indonesia menjadi salah satu negara yang mendapat sorotan dalam laporan HAM Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS).
Dalam laporan tersebut, Indonesia disorot atas pelanggaran privasi oleh polisi, data PeduliLindungi, hingga masalah konflik bersenjata di Papua.
Bukan kali ini saja AS menyoroti pelanggaran HAM di Indonesia.
Hal serupa pernah terjadi 3 dekade silam. Bahkan, AS sampai menerapkan embargo militer terhadap Indonesia.
Saat itu, aparat TNI dinilai melakukan penyimpangan dan pelanggaran HAM, di antaranya terkait kasus pembantaian di Santa Cruz, Dili, pada 1991.
Peristiwa Santa Cruz merupakan peristiwa di mana militer Indonesia menembak dan membunuh ratusan warga negara Timor yang tengah berunjuk rasa di Pemakaman Santa Cruz di Dili, ibukota Timor Leste, yang saat itu merupakan Provinsi Timor Timur Indonesia.
Peristiwa tersebut bukan satu-satunya pembantaian yang disebut terjadi di Timor Leste.
Pembantaian lain di Timor Leste bahkan menyeret nama Prabowo Subianto, Menteri Pertahanan (Menhan) Indonesia saat ini.
Baca Juga: Cek Idul Fitri Berapa Hari Lagi, Ini Perkiraan Idul Fitri 1443 H Menurut Muhammadiyah dan Pemerintah
Allan Nairn, wartawan asing yang hadir di lokasi Insiden Santa Cruz dan menyaksikan sendiri peristiwa yang dikenal dunia sebagai pembantaian militer Indonesia terhadap sekitar 271 warga Dili itu sempat mewawancarai Prabowo.
Namanya mendadak tenar setelah dia melanggar janji untuk tak mengungkap isi wawancara ke publik dan malah membuka wawancara rahasia dengan Prabowo Subianto tersebut.
Melalui blognya pada 2014, dia menyerukan pengadilan untuk Prabowo dan sponsor Amerikanya serta menuntut pemutusan bantuan militer Amerika ke Indonesia.
Nairn termasuk yang paling gencar menyorot Prabowo.
Dia berpegang pada laporan Commission for Reception, Truth and Reconciliation in East Timor (CAVR) Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Laporan itu menyebutkan Prabowo berdinas di sektor Timor Leste ketika terjadi pembantaian di Kampung Krakas, Pegunungan Bibileo, Timor Timur, pada September 1983.
Sementara itu embargo militer Indonesia terhadap Indonesia 3 dekade lalu dilakukan hanya pada persenjataan yang "membunuh".
Ketika itu, Amerika meminta akuntabilitas pemerintah dalam masalah Timor Timur dan kasus Timika yang menyebabkan salah satu warga Amerika tewas.
Embargo yang diberlakukan Amerika itu pun mengakibatkan Indonesia tidak bisa membeli peralatan militer termasuk suku cadangnya.
Termasuk alutsista strategis seperti pesawat tempur F-16 dan F-5, hingga menurunkan tingkat kesiapan alutsista TNI sampai 50 persen.
Nasib serupa dialami alutsista TNI yang dibeli dari sekutu AS seperti tank Scorpion.
Ketika embargo masih berlaku, Inggris bahkan secara terang melarang penggunaan Scorpion saat konflik di Aceh.
(*)