Intisari-Online.com - Invasi Rusia ke Ukraina yang dimulai pada 24 Februari 2022 lalu membuat Amerika Serikat dan negara-negara lainnya menerapkan sanksi yang besar pada Rusia.
Negara-negara Barat memberlakukan sanksi yang belum pernah terjadi sebelumnya pada perusahaan dan sistem keuangan Rusia sejak invasi ke Ukraina pada 24 Februari, yang disebut oleh Vladimir Putin sebagai operasi militer khusus.
Menteri Keuangan Rusia Anton Siluanov pada Minggu (13/3/2022) mengatakan, sanksi untuk Rusia membuat Moskwa kehilangan akses ke aset senilai 300 miliar dollar AS (Rp 4,3 kuadriliun) dari Rp 640 miliar (Rp 9,16 kuadriliun) emas dan cadangan devisanya.
“Sebagian dari cadangan emas dan valuta asing kami dalam mata uang China, dalam yuan. Dan kami melihat tekanan dari negara-negara Barat pada China untuk membatasi perdagangan timbal balik dengan China. Tentu saja, ada tekanan untuk membatasi akses ke aset itu," kata Siluanov dikutip dari Reuters.
"Tetapi saya pikir kemitraan kami dengan China masih akan memungkinkan kami untuk mempertahankan kerja sama yang telah kami capai, dan tidak hanya mempertahankan, tetapi juga meningkatkannya di lingkungan tempat pasar Barat ditutup," lanjutnya.
Komentar Siluanov dalam wawancara di tv itu menandai pernyataan paling jelas dari Moskwa bahwa mereka akan mencari bantuan dari China untuk meredam dampaknya.
Seperti diketahui, Rusia dan China mempererat kerja sama belakangan ini, karena keduanya berada di bawah tekanan kuat Barat atas kasus hak asasi manusia dan serangkaian masalah lainnya.
Beijing tidak mengecam serangan tindakan Rusia serang Ukraina dan tidak menyebutnya sebagai invasi, tetapi mendesak solusi dari negosiasi.
Presiden Vladimir Putin dan Presiden China Xi Jinping sebelumnya bertemu di Beijing pada 4 Februari dan mengumumkan kemitraan strategis yang mereka katakan bertujuan melawan pengaruh Amerika Serikat, serta menggambarkannya sebagai persahabatan tanpa batas.
China adalah pasar ekspor utama Rusia setelah Uni Eropa.