Penulis
Intisari - Online.com -Perhatian seluruh dunia sedang tertuju pada Rusia dan Ukraina saat ini.
Presiden Rusia Vladimir Putin baru saja mengumumkan jika Rusia mulai menyerang Ukraina pada Kamis (24/2/2022) pagi tadi.
Menanggapi pernyataan tersebut, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menyatakan jika Ukraina akan mempertahankan diri dan melawan invasi Rusia.
Pasukan Rusia termasuk pasukan tentara terkuat di bumi, dengan kemampuan militernya tepat di bawah militer Amerika Serikat (AS).
Meski begitu, kemampuan pasukan Ukraina tidak bisa dianggap sebelah mata.
Ada pasukan hebat bernama Batalion Azov.
Melansir National Geographic, Batalion Azov atau Azov Battalion adalah kelompok relawan yang ikut bersama dengan tentara Ukraina memperjuangkan kedaulatan Ukraina.
Peoplesword.org menyebut Batalion Azov dibentuk pada tahun 2014 ketika Rusia mencaplok Semenanjung Krimea.
Awalnya Batalion Azov dibentuk melalui pendukung militan klub sepak bola Metalist Kharkiv guna menghancurkan pasukan separatis pro-Rusia.
Secara organisasi, tentara sukarelawan ini berada dalam pimpinan Andriy Billetsky yang dikenal sebagai seorang fasis kejam.
Tahun 2015, anggota Batalion Azov diperkirakan mencapai 1400 personel, tapi saat ini Batalion Azov sudah terintegrasi penuh dalam militer Ukraina.
Anggota diduga bertambah banyak seiring berjalannya waktu.
Di tahun 2018, Hope not Hate menyebut jika Batalion Azov sudah bekerja sama dengan kelompok Inggris Divisi Misantropik.
Tujuan mereka untuk merekrut aktivis sayap kanan Inggris guna terjun dalam medan laga Ukraina.
Batalion Azov memiliki tradisi Neo-Nazi, dan mengklaim jika mereka pengikut dari Hitler Ukraina subdivisions SS serta pro-Hitler.
“Setelah kudeta tahun 2014, Ukraina telah berubah menjadi sumber neo-Nazi dari seluruh dunia,” ujar Petro Symonenko pemimpin dari Partai Komunis Ukraina.
Konflik itu dituangkan dalam penelitian Faiz Fadhlurrakhman yang berjudul "Kejahatan Perang Azov Batalion Dalam Konflik Rusia-Ukraina 2014: Perspektif Konstruktivis" yang terbit tahun 2017.
Faiz menemukan ada tiga kebejatan yang dilakukan Batalion Azov, mereka dinilai mencederai Konvensi Jenewa I sampai IV.
9 Mei 2014 tercatat Batalion Azov menyerang aktivis pro-Rusia dalam parade Victory Day di Mariupol.
Parade tersebut merupakan peringatan penyerahan oleh Nazi Jerman yang bertepatan dengan kedatangan presiden Rusia Vladimir Putin ke Crimea pertama kali setelah dianeksasi.
Peristiwa berdarah tersebut diawali dengan kontak senjata tentara Ukraina dan Batalyon Azov melawan aktivis pro-Rusia.
Batalyon Azov melakukan penyerangan terhadap para aktivis yang sedang melakukan parade, alhasil 25 masyarakat sipil terluka.
Walaupun kejam terhadap segala hal yang berbau Rusia, dikatakan bahwa Putin akan senang dengan keberadaan Batalion Azov.
Melansir NBC News, rasonalisasi Putin menyerang Ukraina termasuk klaim ia melawan neo-Nazi.
"Tidak mengejutkan jika masyarakat Ukraina menghadapi kebangkitan nasionalisme ekstrimis kanan, yang dengan cepat menyebar menjadi fobia Rusia yang agresif dan neo-Nazisme atau neo-Nazi," ujar Putin Senin lalu, yang juga menuduh negara-negara NATO mendukung neo-Nazi.
Memang benar Garda Nasional Ukraina menjadi rumah Batalion Azov, yang diisi oleh para neo-Nazi.
Namun tidak ada bukti jika ada dukungan besar untuk nasionalisme kanan yang ekstrim itu di pemerintahan, militer, atau elektorat Ukraina.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelenksy beragama Yahudi, dan tiga anggota keluarganya terbunuh dalam peristiwa Holocaust.
Dalam pemilihan parlemen Ukraina tahun 2019 lalu, sebuah koalisi partai sayap kanan ultranasionalis gagal memenangkan satu kursi pun di Rada, dewan legislatif Ukraina berisi 450 anggota.
Dan dalam beberapa tahun belakangan, undang-undang alokasi AS telah melibatkan larangan anggaran belanja mendukung Batalion Azov.
Namun menuduh Ukraina dalam sentimen pro-Nazi, Putin menggunakan bekas luka berumur 1 generasi lamanya dari Perang Dunia II, ketika negaranya bersekutu dengan AS, Inggris dan negara lain mengalahkan poros Axis.
Menurut museum Perang Dunia II di New Orleans, diperkirakan 24 juta warga Rusia meninggal dalam perang itu.