Penulis
Intisari-Online.com – Sisi lain sosok Ki Hajar terpancar dari gaya hidupnya yang amat bersahaja. Sebagai pejabat negara ia tidak sungkan membeli perabotan bekas dari teman atau pelelangan.
Di zaman penjajahan, warga Belanda yang ingin kembali ke negaranya karena sudah pensiun biasa melelang rumah berikut perabotannya kepada masyarakat umum.
Kesempatan ini tidak dilewatkan Ki Hajar dan istrinya.
Beberapa perabot rumah tangga saat keluarga ini tinggal di van Heutsz Boulevard 47 (kini Jln. Teuku Umar), Jakarta, seperti dua tempat tidur, satu perangkat meja makan, tempat surat kabar, dan sebuah almari arsip dibeli dari Bung Karno.
Baca juga: Hardiknas: Terlahir sebagai Raden Mas Suwardi Suryaningrat, dari Mana Nama Ki Hajar Dewantara?
Bahkan, mesin tik Olimpia, radio merek Erres, satu set lemari buku dan meja tulis pun barang bekas.
Yang menarik, mereka tidak hanya melihat perkakas itu melulu dari fungsinya. Nilai sejarah, nostalgia, dan asal-usul barang tersebut tetap dilestarikan.
Sepintas memang terdengar lucu karena setiap barang selalu disebut bersama dengan nama pemilik aslinya.
Kepada salah seorang anaknya misalnya, Ki Hajar berkata, "Sebaiknya, kamu tidur di ranjang Douwes Dekker itu", atau "Sana, belajar di meja Dr. Tjipto saja."
Tak berbeda dengan Nyi Hajar. "Lo, jangan memakai piring Mevrouw Reesink", atau "Hati-hatilah dengan massage listrik Desentje itu."
Baca juga: Pendidikan Finlandia Terbaik di Dunia, Ajaran Ki Hadjar Dewantara Diadopsi di Sana
Tradisi makan bersama, meski dengan menu yang sederhana dan terkadang seadanya, selalu dilakukan Ki Hajar di tengah kesibukannya sehari-hari. Ikhwal makan ini ada peristiwa lucu.
Minggu 19 Agustus 1945, setelah ditetapkan menjadi menteri pengajaran RI yang pertama, Ki Hajar pulang larut malam.
Meski demikian ia tidak meninggalkan kebiasaan menceritakan segala hal yang dialaminya kepada istri dan anak-anaknya.
Lantaran persediaan lauk pauk habis, Nyi Hajar menyuruh anaknya, Bambang Sokawati, membeli mi godok. Setelah menerima uang f 2, yang disuruh segera berlari ke luar menenteng rantang.
"Namun ketika akan membayar bakmi, uang dua lembar pemberian ibu kucari-cari tidak ketemu. Sambil membawa rantang itu aku pulang ke rumah dan segera mengambil uangku sendiri untuk membayar tukang bakmi," tutur Bambang dalam bukunya.
Baca juga: 9 Gaya Pendidikan di Jepang Ini Keren Banget! Dijamin Bikin Kita Cemburu dan Iri
Karena lapar, dengan lahap Ki Hajar menyantap bakmi hingga nyaris habis. Ketika akhirnya kuah bakmi itu dituang ke piring, ternyata ... ikut tertuang pula uang f 2 yang tadi hilang.
Rupanya, Bambang menaruh uang tersebut di dalam rantang yang kemudian oleh tukang bakmi ditimbuni bakmi. Ki Hajar tidak marah atas kecerobohan putranya, tapi justru tergelak.
"Mungkin ini harus terjadi supaya kita selalu ingat dan dapat bercerita, ketika Bapak diangkat jadi menteri kita mengadakan syukuran di tengah malam dengan makan bakmi yang dibumbui uang lecek!" ujar Ki Hajar.
Selain wajib mendengarkan siaran RRI, kegemaran lelaki yang dinobatkan sebagai pahlawan nasional 1959 ini adalah menulis dan membaca. Karena saat itu radio masih langka, kegiatan mendengarkan dilakukan bersama banyak orang.
Menurut kesaksian Rabhan Ernanto (65), mantan pembantu di rumah Ki Hajar, setiap kali Presiden Soekamo berpidato melalui radio, halaman rumah Ki Hajar dipenuhi oleh masyarakat yang ikut mendengarkan.
Baca juga: Pantas Banyak yang Tumbuh Cerdas, Ini Rahasia Sistem Pendidikan di China yang Bisa Kita Tiru!
Sikapnya yang populis juga terlihat dari keputusannya menaruh pesawat telepon Tamansiswa di teras depan rumahnya. Alasannya tak lain agar bisa dipakai banyak orang.
Dari kebiasaannya menulis dan mencatat, harus diakui Ki Hajar juga seorang dokumentalis hebat.
Hampir semua peristiwa penting terdokumentasikan dengan rapi dalam buku hariannya yang kini tersimpan di Museum Dewantara.
Di sana masih tersimpan surat bukti pembebasan No. 655 dari penjara pusat Pekalongan. Tertulis, berdasar keputusan Direktur Penjara Pusat Pekalongan, R.M. Suwardi dibebaskan dari penjara tanggal 27 September 1921.
Selama di penjara ia mendapat upah kerja i 27,40 ditambah uang simpanan f 25.
Pada tanggal 31 Maret 1955, ia menulis rincian uang pensiun yang diterimanya. Misalnya pensiun menteri Rp 50,-, pensiun anggota DPR Rp 345,-. Jumlahnya Rp 395,- plus tunjangan keluarga Rp 130,35 dan Tj. Kern, (tunjangan kemahalan- Red.) Rp 158,80, sehingga total yang diterimanya sebesar Rp 684,15,-.
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Mei 2000)
Baca juga: Cucu Ki Hajar Dewantara: Kakeknya Berjuang dengan Pena, Cucunya Berjuang dengan 'Gedung'