Dulunya Jawa Menggunakan 'Kalender Pergerakan Matahari' dari India, Sultan Agung Kemudian Gabungkan Tahun Jawa dan Islam sebagai Penanggalan Mataram Islam

Muflika Nur Fuaddah

Penulis

(Ilustrasi) Sultan Agung dari Kerajaan Mataram Islam

Intisari-Online.com - Tahukah Andabagaimana sejarah penggabungan tahun Jawa dan Islam?

Sultan Agung Hanyakrakusuma adalah raja terbesar Kesultanan Mataram yangberkuasa antara 1613-1645.

Dia membawabanyak perubahan besar bagi masyarakat Jawa, termasukmenciptakan sistem penanggalan baru dengan menggabungkan tahun Jawa dan Islam.

Penanggalan baru yang disebut kalender Jawa atau Kalender Sultan Agungan ini diciptakan pada 1633.

Melansir Kompas.com, sejarah penggabungan tahun Jawa dan Islam Ketika Sultan Agung naik takhta menjadi raja ketiga Kesultanan Mataram, masyarakat Jawa masih menggunakan kalender Saka yang berasal dari India.

Kalender Saka didasarkan pergerakan matahari, berbeda dengan kalender Islam atau Hijriah yang didasarkan pada pergerakan bulan.

Hal ini menyebabkan perayaan-perayaan adat yang diselenggarakan oleh keraton tidak selaras dengan perayaan-perayaan hari besar Islam.

Sultan Agung menginginkan agar perayaan-perayaan tersebut dapat terjadi dalam waktu bersamaan.

Baca Juga: Penyebab Aswawarman Disebut sebagai Wangsakarta dari Kerajaan Kutai

Baca Juga: Konon Pulau Jawa Pernah Menjelma Lautan Darah saat Terjadi Pralaya Medang, Serangan Mematikan yang Meruntuhkan Keraaan Mataran Kuno

Oleh karena itu, diciptakan sebuah sistem penanggalan baru yang merupakan perpaduan antara kalender Saka dan Hijriah.

Perubahan penanggalan ini berlaku untuk seluruh Pulau Jawa dan Madura, kecuali Banten, karena tidak termasuk daerah Mataram.

Perubahan sistem penanggalan dilakukan hari Jumat Legi, saat pergantian tahun baru Saka 1555 yang ketika itu bertepatan dengan tahun baru Hijriah 1 Muharam 1043 H dan 8 Juli 1633 M.

Pergantian sistem penanggalan ini tidak mengganti hitungan tahun Saka 1555 menjadi tahun 1, tetapi meneruskannya dengan berbagai penyesuaian.

Sistem perhitungan lama yang berdasarkan matahari diganti dengan perhitungan berdasarkan pergerakan bulan, seperti penanggalan Hijriah.

Penanggalan dan bulan memakai sistem Islam, tetapi angka tahun dan namanya tetap memakai sistem Jawa.

Maka jadilah nama bulan tahun Jawa Islam menjadi Suro, Sapar, Mulud, Bakda Mulud, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rejeb, Ruwah, Poso, Sawal, Dulkangidah, Besar.

Nama bulan tersebut mirip dengan urutan kalender Hijriyah yakni Muharram, Safar, Rabiul Awal, Rabiul Akhir, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rajab, Syaban, Ramadan, Syawal, Dzulkaidah, Dzulhijjah.

Baca Juga: Bak Balas Dendam pada Sang Suami, Inilah Kisah Kekejaman Ratu Catherine de Medici, Eksekusi Selingkuhan Putrinya di Depan Mata Sang Putri dan Biarkan Raja Mati dalam Kesendirian

Baca Juga: Sumber Sejarah Kerajaan Majapahit yang Masih Utuh, Apa Saja Semuanya?

Selain itu, sistem kalender Jawa memakai dua siklus hari.

Yang pertama adalah siklus mingguan yang terdiri dari tujuh hari.

Pemberian nama hari itu menyerap dari bahasa Arab, di antaranya Ahad atau Minggu, Isnain atau Senin, Tsalasa atau Selasa, Arba’a atau Rabu, Khamisi atau Kamis, Jum‘ah atau Jumat, dan Sab’ah atau Sabtu.

Yang kedua adalah siklus pancawara, yang terdiri dari lima hari pasaran, yaitu Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon.

Hasilnya, hingga saat ini awal tahun baru kalender Jawa selalu jatuh bersamaan dengan tahun baru Islam.

Sehingga saat umat muslim merayakan tahun baru Islam 1 Muharam, masyarakat Jawa juga merayakan tahun baru kalender Jawa yaitu 1 Suro.

Dari Sultan Agung inilah kemudian pola peringatan tahun Hijriah dilaksanakan secara resmi oleh negara dan diikuti seluruh masyarakat Jawa.

Baca Juga: Perdagangan di Kerajaan Sriwijaya Mengalami Kemajuan yang Pesat Terutama Karena Apa?

Baca Juga: Dikenal Luas Sebagai Kerajaan Paling Modern di Dunia, Siapa SangkaTakhayul-takhayul Ini Masih Dipercaya oleh Anggota Keluarga Kerajaan Inggris, Termasuk Adanya Hantu Tanpa Kepala

(*)

Artikel Terkait