Find Us On Social Media :

Ibu Teresa Resmi jadi Santa: Sebuah Panggilan dalam Panggilan (1)

By K. Tatik Wardayati, Senin, 5 September 2016 | 18:10 WIB

Ibu Teresa Resmi jadi Santa: Sebuah Panggilan dalam Panggilan (1)

Intisari-Online.com – Ibu Teresa kini telah menjadi salah satu tokoh karismatis yang dikagumi dan dihormati. Setiap tahun jutaan dolar mengalir untuk kegiatan sosialnya. Namun menjadi seorang Ibu Teresa ternyata jauh dari mudah, apalagi "enak". Apa yang menggerakkan wanita mungil ini, sehingga semangatnya tak pernah patah?. Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Juli 1997, dalam rubrik Cukilan Buku, oleh Lily Wibisono.

--

Suatu hari menjelang akhir bulan September 1928, kereta api beranjak semakin cepat meninggalkan Skopje, kota berpenduduk 25.000 jiwa di Macedonia. Kota yang pernah menjadi bagian dari bekas negara Yugoslavia ini sedang melepas seorang anak dara yang bakal menorehkan nama besar di dunia. Namun bagi si dara saat itu, yang terasa cuma kesedihan.

Agnes Gonxha (18) dengan berlinangan air mata, melambai-lambaikan tangan ke luar jendela, memandang kawan-kawan dan sahabat yang memandang nanar di peron. Tadi malam mereka semua mengadakan pesta perpisahan. Entah kapan ia akan berjumpa dengan mereka lagi.

Kereta api itu membawa Gonxha, ibunya dan kakaknya, Drana dan Age, menuju Zagreb, ibu kota Kroasia. Meski jaraknya cukup jauh, kira-kira jarak Jakarta - Rembang di perbatasan Jateng dan Jatim, bukan itu yang membuatnya menangis. Perjalanan ini menandai babak baru dalam kehidupan Gonxha. Sebuah babak yang amat berbeda dan jauh di luar konteks kehidupan masa kecil dan remajanya di Skopje. Secara fisik, lebih-lebih secara spiritual. Gonxha ingin menjadi  biarawat dan misionaris di India. Mengingat jarak geografis dan fasilitas trasnportasi maupun komunikasi belum seperti sekarang, pilihan karier itu sama saja dengan mencabut diri dari akar tanpa berpikir akan kembali.

Tak heran saat Gonxha pertama kali mengutarakan niat hatinya itu, Drana sampai mengunci diri selama 24 jam di kamar.Barangkali berdoa, barangkali menangis, karena tahu bakal berpisah selamanya dengan si "Gonxha kecil''. Yang jelas ketika ia membuka pintu kamarnya, ia memberikan restu.

Selain Age, Drana masih punya Lazar, anak kedua dan satu-satunya laki-laki yang kemudian menjadi tentara. Suaminya sendiri pengusaha yang lumayan sukses. Nikola Bojaxhiu dan Dranafile, begitu nama lengkapnya, sama-sama keturunan Albania. Nikola, aktivis nasionalis Albania, sedangkan Drana, di sela-sela kesibukannya mengurus anak dan rumah tangganya, aktif dalam kegiatan sosial.

Belajar dari ibu

Gonxha lahir 26 Agustus 1910. Kepada Eileen Egan dalam Mother Teresa, The Spirit and the Work (1985), Lazar berceloteh.

"Ketika masih kecil, Gonxha itu montok.  Sejak kecil pembawaannya rapi sekaligus serius. Malah terlampau serius untuk usianya. Dari kami bertiga, cuma dia si bungsu itu  yang tak pernah ngiler ingin mencuri selai buatan Ibu yang lezat itu. Tapi berhubung hatinya baik, ia mau juga menolong saya membukakan lemari selai, karena tinggi sekali.”

Malam-malam si nakal Lazar yang doyan kue dan puding itu sering “beroperasi”. Tapi Gonxha tidak pernah melaporkan tindak “kriminalitas” kakaknya kepada ibu.

Kealiman Gonxha bisa dipastikan ia warisi dari ibunya. Bagi Drana tiada hari tanpa doa. Karena Nikola banyak bepergian di bawah bimbingannyalah anak-anak keluarga Bojaxhiu tumbuh  menjadi anak-anak dengan tata nilai moral yang kuat. Tak percuma Drana dipanggil “Nana Loke” (ibu jiwaku) oleh anak-anaknya.

Sehari-hari jadwal Drana terisi padat oleh tiga macam kegiatan  yang amat jelas pilahannya: rumah tangga, kegiatan sosila, dan doa. Sebagai wanita yang mengutamakan efisiensi, ia juga tak suka menyia-nyiakan apa pun; termasuk waktu.

Misalnya saja pernah suatu malam anak-anak larut mengobrol ngalor-ngidul. Tanpa komentar ia mematikan sekering utama. "Untuk apa buang-buang listrik hanya untuk pembicaraan macam itu," katanya kalem.

Drana punya kesadaran sosial yang amat tinggi. Apalagi Nikola tidak keberatan menyediakan dana yang cukup untuk itu. Anak-anak Bojaxhiu sudah terbiasa melihat di rumah ada orang asing, miskin, makan gratis. Bahkan orang sakit pun tak enggan ia bawa pulang untuk dirawat. Secara teratur ia juga mengunjungi fakir miskin untuk membagi makanan dan uang. Dari ketiga anaknya, Gonxhalah yang paling suka ikut dalam kegiatan-kegiatan ini.

Namun begitu malam tiba, Drana berdandan rapi untuk menyambut suami pulang. Begitu rapinya sampai anak-anaknya  geli. "Keluarga kami memang sangat bahagia," kenang Gonxha berpuluh tahun kemudian.

Sayang, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Ketika Gonxha baru berusia 9 tahun, ayahnya tewas dalam suatu insiden politik. Berlalulah satu tahap dalam kehidupan Gonxha cilik. Untunglah, itu tidak berarti hidup bangkrut. Setelah melewati masa shock berat dan kesedihan yang tak terperikan, Drana berhasil berwirausaha. Ia berdagang kerajinan tangan sulam, lalu berkembang ke pelbagai jenis kain, sampai permadani khas Skopje.

Di masa remajanya, semakin -tampak Gonxha tak suka membuang waktu. Kalau belajar, membantu teman belajar, atau kegiatan organisasi kepemudaan, tentu ia membaca. Dalam koor gereja, Gonxha dan Age terkenal punya suara merdu, sehingga tak jarang suara sopran bening Gonxha sebagai solis mengalun mengisi relung-relung gereja. Mereka juga aktif dalam kegiatan kepemudaan. Remaja Gonxha yang cantik pun semakin nampak bakat-bakatnya. Ia punya kemampuan organisasi yang kuat, hidupnya teratur, dan senang mengajar.

Ke Irlandia dulu

Untuk meraih cita-citanya, Gonxha mulai mencari informasi. Tidak sulit, berhubung banyak orang Yugoslavia yang menjadi  misionaris di India. Ia mendapat keterangan, di Benggala ada sebuah kongregasi (kelompok biarawan/wati) yang populer disebut kongregasi Loreto. Tetapi yang melayani wilayah Benggala adalah cabang Irlandia, sehingga Gonxha mengirim lamaran ke sana.

Di Zagreb, Gonxha bergabung dengan seorang gadis lain yang juga bertujuan sama. Kereta api melintasi Austria, menuju Paris. Di ibu kota mode dunia ini mereka diwawancarai oleh Superior Loreto cabang Paris dengan bantuan penerjemah dari Kedutaan Yugoslavia. Lalu, mereka dikirim ke Dublin, Irlandia, dan masuk novisiat (sekolah calon biarawati) untuk belajar bahasa Inggris. Setelah 6 minggu, akhirnya mereka diberangkatkan ke India; pertengahan November 1928.

Perjalanan laut selama 7 minggu ditempuh bersama tiga orang biarawati dari kongregasi lain. Mereka mengarungi Terusan Suez, L. Merah, dan menempuh Samudera Hindia luas sampai tiba di Teluk Benggala. Baru 6 Januari 1929, mereka menjejakkan kaki di Kalkuta. Tapi Gonxha dan rekannya masih harus menempuh 450 mil lagi arah utara, ke Darjeeling, kota sejuk di ketinggian 7.000 kaki, di kaki Pegunungan Himalaya. Di sanalah penggemblengan spiritual yang sebenarnya akan dimulai.

Ketika mengucapkan kaul pertamanya untuk kemiskinan, kemurnian, dan ketaatan pada 24 Mei 1931, dipilihnya nama Teresa. Menyusul kaul pertama itu, Sr. Teresa ditempatkan sebagai guru di St. Mary’s Highschool, di bagian timur Kalkutta sebagai guru. Sekolah itu terletak di kompleks Loreto Entally yang amat luas, dengan dinding tebal mengitari dan pintu gerbang megah mengesankan. Berbekal bahasa Inggris yang kini telah ia kuasai benar. Sr. Teresa mengajarkan geografi dan sejarah.

Diakuinya, hidup sebagai biarawati sekaligus pengajar amat membahagiakan. Sebagai guru kariernya terus menanjak, sampai akhirnya mencapai jenjang kepala sekolah.

Sepertinya hidup Teresa sudah lengkap, ketika tanpa  keraguan ia mengucapkan kaul kekal, 14 Mei 1937. Sembilan belas tahun ia dengan setia hidup menuruti jadwal serta aturan yang ketat. Biarawati Loreto dilarang keluar kompleks kecuali dalam keadaan darurat, misalnya ke rumah sakit. Itu pun dengan kendaraan khusus dan mesti ditemani. Namun di luar tembok biara dan kompleks sekolah kehidupan berjalan terus. India mengalami pergolakan menuju kemerdekaan. Pertentangan antara golongan Hindu dan muslim (yang kemudian melahirkan dua negara: Pakistan dan India), pecah besar-besaran pada 16 Agustus 1946. Kerusuhan yang berlangsung 4  hari itu membuat Kalkutta banjir darah dan dikenang sebagai Hari Pembantaian Besar.

Akibat kekacauan di luar, seluruh kompleks biara Loreto sampai mengalami krisis pangan dan kepala sekolahnya terpaksa melanggar aturan biara. Ia keluar untuk mencari makan bagi 300 siswi yang berada di asramanya.

Tak lama setelah peristiwa itu, Sr. Teresa berangkat ke Darjeeling untuk latihan olah rohani rutin tahunan. Di perjalanan dengan kereta api itulah, pada tanggal 10 September 1946, Sr. Teresa mendapat ilham.

Dianggap sinting

Ia merasa mendapat perintah meninggalkan Loreto, untuk melayani kaum miskin papa di jalanan. Dalam Mother Teresa, My Life for the Poor (1985) dituturkan, bagaimana ia sempat bingung harus berbuat apa. Kehidupannya di biara sudah aman dan mapan. Pekerjaan pun menyenangkan. Secara nalar,mengapa cari perkara? Tetapi  panggilan yang disebutnya "panggilan dalam-panggilan" itu demikian kuat. Hanya karena keyakinannya, ia nekat mengajukan permohonan luar biasa untuk bekerja sebagai biarawati independen. Sudah tentu permohonan yang dipandang janggal. Uskup dan pimpinan gereja menunggu selama setahun sebelum memberikan izin.

Ketika akhirnya mendapat izin resmi; berulang-ulang Teresa mengatakan meninggalkan Loreto itu langkah tersulit dan pengorbanannya yang terbesar dalam hidupnya. “Lebih berat daripada meninggalkan keluarga,” ujarnya.

Seragam biarawati ala Eropa yang tebal, panjang, dan banyak lipatan diganti sari sederhana berwarna putih yang ringkat. Sesuai untuk bekerja di jalanan. Begitulah, 16 Agustus 1948 Teresa melangkahkan kaki ke luar dari  biara tanpa pengantar seorang pun.

Sebagai langkah pertama ia magang di sebuah rumah sakit di Patna, untuk belajar cara merawat orang sakit. Ketika merasa sudah cukup, Desember tahun itu juga Teresa kembali ke Kalkutta. Mula-mula ia menumpang di sebuah wisma orang tua. Dari sanalah ia mengawali karya yang bakal meraksasa dan mendunia.

Empat hari menjelang Natal, dengan membawa bekal sederhana untuk makan siang, ia berangkat dengan berjalan kaki ke Moti Jihl, daerah kumuh yang jauhnya sekitar 1 jam berjalan kaki. Di sana dikumpulkannya anak-anak, lalu mulai mengajar.

- bersambung -