Find Us On Social Media :

Ibu Teresa Resmi jadi Santa: Sebuah Panggilan dalam Panggilan (2)

By K. Tatik Wardayati, Senin, 5 September 2016 | 18:20 WIB

Ibu Teresa Resmi jadi Santa: Sebuah Panggilan dalam Panggilan (2)

Tiba hari Jumat pagi sekitar pukul 09.00 datang sebuah truk mengangkut ribuan bungkus roti tawar. Tidak seorang pun di Kalkutta yang tahu mengapa hari itu pemerintah meliburkan sekolah-sekolah. Yang jelas jatah roti untuk murid-murid dialihkan ke Rumah Ibu Teresa. Dua hari para fakir miskin asuhan Ibu Teresa kenanyang makan roti. Kebetulan? Bagi Ibu Teresa bukan. Sekolah-sekolah itu tutup karena Allah menghendaki orang-orang miskin tahu bahwa Dia menyayangi mereka.

Bagi Ibu Teresa, memberi baru berharga bila pemberian itu terasa berat bagi si pemberi. Memberi hanya dari kelebihan kita, seperti yang umumnya dipraktikkan orang-orang dengan akal sehat, belumlah cukup. Love until it hurts. Begitu salah satu semboyannya.

Di bawah payung MC bernaung organisasi awam bernama Asosiasi Kerabat Kerja Internasional yang berkarya di bidang sosial. Anggotanya orang awam yang selalu dianjurkan untuk memulai karya cinta kasih di rumah, baru di luar.

Di Inggris ada kerabat kerja yang tugasnya hanya mendengarkan. Ungkap Ibu Teresa, “Di Kalkutta, saya cukup memberikan sepiring makanan, orang yang kami tolong sudah dilegakan. Tapi di negara-negara Barat, penderitaan karena kesepian, karena tidak dicintai, jauh lebih sulit untuk diringankan.”

Ada pula jenis derita lain, derita orang-orang yang terkurung (disebut para shut-ins), seperti yang dijumpai di Roma. Para suster mengunjungi mereka, membersihkan rumah, mencucikan pakaian, bahkan memandikan mereka.

Banyak orang miskin di Asia meski kekurangan pangan, tidak kekurangan cinta kasih. Ibu-ibu penderita kusta atau penyakit lain, dengan sedih tapi penuh kerelaan menyerahkan anak mereka kepada Ibu Teresa, supaya si anak tidak tertular penyakitnya.

Pernah pula Teresa mendengar sebuah keluarga Hindu dengan delapan anak sudah lama tidak makan. Ia pun ke sana menjinjing nasi secukupnya. Nampak benar ekspresi kelaparan yang amat menggigit di wajah anak-anak mereka. Tapi Teresa heran melihat ibu anak-anak itu tega-teganya langsung membagi ransum yang dibawakan Ibu Teresa itu menjadi dua bagian, lalu beranjak pergi membawa yang setengah. Ketika ditanya ia baru melakukan apa, jawabannya singkat saja, “Mereka juga kelaparan.” Anak-anaknya pun, melihat tindakan sang ibu hanya tersenyum tanpa protes sedikit pun.

"Mereka" ternyata sebuah keluarga muslim, tetangga  keluarga Hindu ini yang juga beranak banyak. Memberi dari kekurangan yang diderita, barangkali sebuah kemewahan bagi orang-orang yang berlebihan materi. Dengan kelembutan hatinya, Teresa dapat turut merasakan kebahagiaan keluarga itu dalam berbagi dan memberi.

Meski cuma tikar tua

Jadi bagaimana orang kaya dapat belajar berbagi secara berarti? Seorang wanita India datang kepada Ibu Teresa untuk minta petunjuk. "Saya ingin turut dalam karya Ibu," katanya.

Sambil lalu ia berceloteh, bagaimana gemarnya ia pada sari yang bagus-bagus dan mahal. Ia memiliki sari yang harganya 800 rupee sementara  sari yang dikenakan Ibu Teresa paling-paling 8 rupee. "Tiap bulan saya pasti membeli sebuah."

Setelah berdoa sebentar, Ibu Teresa mendapat gagasan baik. "Mulai saja dengan sari. Bagaimana kalau lain kali akan membeli sari, belilah yang 500 rupee saja. Sisanya, 300 rupee, dapat dibelikan banyak sari untuk orang miskin."

Si nyonya yang baik hati dan penuh semangat beramal .akhirnya menurunkan standar sarinya sampai cuma seharga 100 rupee. Ibu Teresa dengan hati berbunga-bunga dan penuh simpati sampai harus mengingatkan, "Tak perlulah lebih murah dari 100 rupee, Nyonya!"

Bagi kebanyakan dari kita, barangkali sulit membayangkan seberapa laparnya manusia dapat merasa lapar. Tapi tidak bagi banyak anak-anak di Kalkutta. Suatu hari Ibu Teresa membawa pulang seorang anak kecil dari jalanan, karena anak itu sudah berhari-hari tidak makan. Kedua matanya kecil sampai berkilat-kilat saking laparnya. Namun ketika diberi roti, ia memakannya sedikit demi sedikit, pelan-pelan. "Saya takut, kalau habis saya akan merasa lapar lagi," ujarnya.

Di panti asuhan MC, anak itu lalu-dimandikan dan diberi pakaian yang layak. Tapi sorenya ia menghilang. Setiap kali dicari dan ditemukan, ia akan menghilang lagi. Akhirnya ketika dibuntuti, ketahuanlah ia pulang kepada ibunya. Di bawah pohon, di tepi jalan, si ibu nampak sedang memasak entah apa, dan anak itu di sampingnya. Anak itu memilih pulang, meski yang ia rasakan “rumah” hanyalah selembar tikar tua tanpa bantal, selimut, dan beratap pohon, di tepi jalanan. Kasih dan kehangatan ibu yang membuat si anak betah.