Penulis
Intisari-Online.com – Ibu Teresa kini telah menjadi salah satu tokoh karismatis yang dikagumi dan dihormati. Setiap tahun jutaan dolar mengalir untuk kegiatan sosialnya. Namun menjadi seorang Ibu Teresa ternyata jauh dari mudah, apalagi "enak". Apa yang menggerakkan wanita mungil ini, sehingga semangatnya tak pernah patah?. Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Juli 1997, dalam rubrik Cukilan Buku, oleh Lily Wibisono.
--
Namun sungguh alangkah sepinya perjuangan awal itu. Sendirian ia menyusuri jalan-jalan Kalkutta, mendatangi lingkungan kumuh. Ia dipandang aneh oleh dunia, bahkan ada sesama biarawan yang belakangan mengakui ia sempat mengira Sr. Teresa sinting.
Ada bekas muridnya yang menangis begitu melihat suster kepala sekolah yang tadinya penuh wibawa berubah penampilannya jadi wanita India yang miskin. Tapi inilah cara Teresa mengidentikan dirin dengan sasaran karyanya. “Untuk mengerti kaum miskin, jadilah miskin seperti mereka,” begitu paparnya. Konsentrasinya yang deimikian terfokus tak memberi tempat bagi hal remeh-temeh macam pandangan orang tentang betapa anehnya ada wanita Eropa (masa itu) memakai sandal tanpa kaus kaki!
Baru Februari ia mendapat tumpangan di rumah Michael Gomes di 14 Creek Lane. Hanya sebuah kamar di lantai dua. Selain bimbingan yang terus-menerus dari Pastor van Exem; ia juga dibantu Charur Ma, seorang janda, bekas koki di Loreto Entally. Sedikit-sedikit sumbangan mulai mengalir dan Teresa membelanjakannya bersama Charur Ma.
Kadang-kadang ditemani keluarga Gomes ia mencari sumbangan obat. Bulan berikutnya, Subashini Das, bergabung disusul beberapa minggu kemudian oleh Magdalena Gomes (dari keluarga Gomes lain). Keduanya bekas anak didik di St. Mary, yang kemudian beralih nama menjadi Sr: Agnes dan Sr. Gertrude, dua biarawati pertama dalam kongregasi yang bakal didirikan Sr. Teresa. Hanya dalam beberapa bulan, ada 10 gadis yang membantu kerja Teresa. Hampir semuanya jebolan St. Mary's, malah empat orang belum lulus. Termasuk Sr. .Gertrude, yang membuat marah seluruh keluarga sampai dikucilkan selama 2 tahun.
Tak pusing soal uang
Tahun 1949 Teresa menjadi warga negara India. Missionaries of Charity atau Misionaris Cinta Kasih (MC) diresmikan oleh Paus sebagai kongregasi baru pada 7 Oktober 1950 dengan kaul untuk hidup miskin, suci, taat, mau memberi serta melayani kaum yang termiskin. Sebagai pendiri dan pemimpinnya, Sr. Teresa disebut Ibu Teresa. Sejak itu ia dan anak-anak buahnya membubuhkan huruf MC di belakang nama mereka.
Dua tahun lewat, sudah ada 28 orang gadis yang mengikuti Ibu Teresa. Pihak keuskupan kemudian membelikan asrama baru untuk mereka di 54A Circular Road. Februari 1953 Gedung yang terletak di tengah keramaian kota ini kemudian menjadi nukleus kegiatan MC. Metode kerja Ibu Teresa boleh dibilang bertolak belakang dengan prinsip kerja manusian modern. “Kami bekerja tanpa rencana. Pokoknya, di mana ada derita manusia, ke sanalah kami pergi.”
Saat pertama kalinya menyusuri jalan-jalan kumuh di Kalkutta sekeluarnya dari Loreto, ia dihampiri seorang imam.
"Suster, berilah sumbangan untuk pers Katolik," begitu kira-kira ucap si imam.
Sumbangan? Tadinya ia punya 5 rupee, tapi yang empat rupee sudah didermakah ke fakir miskin. Tersisa satu rupee. Sempat ragu sejenak, berpindah tangan juga yang satu rupee itu. Sorenya, imam itu datang kembali. Kali ini membawa amplop.
"Seseorang menitipkan amplop ini untuk Suster. Ia bersimpati pada proyek yang sedang Anda kerjakan," ujarnya. Isinya lima puluh rupee.
Saat itu juga Teresa semakin yakin bahwa kerjanya direstui oleh Yang di Atas. Itu mempertebal keyakinannya bahwa dengan bersandar pada bimbingan-Nya, tak ada masalah yang perlu dikhawatirkan.
Maka demikianlah, sementara sebagian orang di dunia semakin terobsesi oleh uang dengan segala macam manifestasinya, Ibu Teresa dan anak buahnya seolah-olah sebuah koloni masyarakat tersendiri yang berbeda. Semata-mata karena iman ia dengan santai bisa berkata, "Kami tak pusing soal uang. Uang selalu datang sendiri. Tuhan yang mengirimnya. Kami yang bekerja, Tuhan yang menyediakan sarananya. Bila sarana sampai tak tersedia, berarti Dia tidak berkenan. Untuk apa khawatir?"
Suatu hari datang ketua dari Hindustan, Lever, yang ingin menyumbangkan gedung. Iseng-iseng ia ingin tahu,
"Ibu, bagaimana Anda mengatur pembiayaan proyek-proyek Ibu?"
Dijawab dengan sederhana, "Siapa yang menyuruh Anda kemari?"
"Dorongan hati saya," ujarnya.
"Nah, banyak orang lain juga seperti Anda. Mereka datang demikian saja kepada saya untuk menyumbangkan ini itu. Itulah anggaran belanja saya," sahut Ibu Teresa.
Setiap hari demikian banyak biaya harus dikeluarkan untuk menanggung makanan dan pengobatan serta perawatan orang miskin. Demikianpun belum pernah rumah Ibu Teresa menolak orang karena kehabisan dana. .
Berilah sampai terasa sakit
Namun pernah terjadi, suatu hari seorang suster melapor kepada Ibu Teresa, "Ibu, persediaan beras untuk hari Jumat dan Sabtu ini sudah habis."
Ibu Teresa agak herah. Ini belum pernah terjadi.
Tiba hari Jumat pagi sekitar pukul 09.00 datang sebuah truk mengangkut ribuan bungkus roti tawar. Tidak seorang pun di Kalkutta yang tahu mengapa hari itu pemerintah meliburkan sekolah-sekolah. Yang jelas jatah roti untuk murid-murid dialihkan ke Rumah Ibu Teresa. Dua hari para fakir miskin asuhan Ibu Teresa kenanyang makan roti. Kebetulan? Bagi Ibu Teresa bukan. Sekolah-sekolah itu tutup karena Allah menghendaki orang-orang miskin tahu bahwa Dia menyayangi mereka.
Bagi Ibu Teresa, memberi baru berharga bila pemberian itu terasa berat bagi si pemberi. Memberi hanya dari kelebihan kita, seperti yang umumnya dipraktikkan orang-orang dengan akal sehat, belumlah cukup. Love until it hurts. Begitu salah satu semboyannya.
Di bawah payung MC bernaung organisasi awam bernama Asosiasi Kerabat Kerja Internasional yang berkarya di bidang sosial. Anggotanya orang awam yang selalu dianjurkan untuk memulai karya cinta kasih di rumah, baru di luar.
Di Inggris ada kerabat kerja yang tugasnya hanya mendengarkan. Ungkap Ibu Teresa, “Di Kalkutta, saya cukup memberikan sepiring makanan, orang yang kami tolong sudah dilegakan. Tapi di negara-negara Barat, penderitaan karena kesepian, karena tidak dicintai, jauh lebih sulit untuk diringankan.”
Ada pula jenis derita lain, derita orang-orang yang terkurung (disebut para shut-ins), seperti yang dijumpai di Roma. Para suster mengunjungi mereka, membersihkan rumah, mencucikan pakaian, bahkan memandikan mereka.
Banyak orang miskin di Asia meski kekurangan pangan, tidak kekurangan cinta kasih. Ibu-ibu penderita kusta atau penyakit lain, dengan sedih tapi penuh kerelaan menyerahkan anak mereka kepada Ibu Teresa, supaya si anak tidak tertular penyakitnya.
Pernah pula Teresa mendengar sebuah keluarga Hindu dengan delapan anak sudah lama tidak makan. Ia pun ke sana menjinjing nasi secukupnya. Nampak benar ekspresi kelaparan yang amat menggigit di wajah anak-anak mereka. Tapi Teresa heran melihat ibu anak-anak itu tega-teganya langsung membagi ransum yang dibawakan Ibu Teresa itu menjadi dua bagian, lalu beranjak pergi membawa yang setengah. Ketika ditanya ia baru melakukan apa, jawabannya singkat saja, “Mereka juga kelaparan.” Anak-anaknya pun, melihat tindakan sang ibu hanya tersenyum tanpa protes sedikit pun.
"Mereka" ternyata sebuah keluarga muslim, tetangga keluarga Hindu ini yang juga beranak banyak. Memberi dari kekurangan yang diderita, barangkali sebuah kemewahan bagi orang-orang yang berlebihan materi. Dengan kelembutan hatinya, Teresa dapat turut merasakan kebahagiaan keluarga itu dalam berbagi dan memberi.
Meski cuma tikar tua
Jadi bagaimana orang kaya dapat belajar berbagi secara berarti? Seorang wanita India datang kepada Ibu Teresa untuk minta petunjuk. "Saya ingin turut dalam karya Ibu," katanya.
Sambil lalu ia berceloteh, bagaimana gemarnya ia pada sari yang bagus-bagus dan mahal. Ia memiliki sari yang harganya 800 rupee sementara sari yang dikenakan Ibu Teresa paling-paling 8 rupee. "Tiap bulan saya pasti membeli sebuah."
Setelah berdoa sebentar, Ibu Teresa mendapat gagasan baik. "Mulai saja dengan sari. Bagaimana kalau lain kali akan membeli sari, belilah yang 500 rupee saja. Sisanya, 300 rupee, dapat dibelikan banyak sari untuk orang miskin."
Si nyonya yang baik hati dan penuh semangat beramal .akhirnya menurunkan standar sarinya sampai cuma seharga 100 rupee. Ibu Teresa dengan hati berbunga-bunga dan penuh simpati sampai harus mengingatkan, "Tak perlulah lebih murah dari 100 rupee, Nyonya!"
Bagi kebanyakan dari kita, barangkali sulit membayangkan seberapa laparnya manusia dapat merasa lapar. Tapi tidak bagi banyak anak-anak di Kalkutta. Suatu hari Ibu Teresa membawa pulang seorang anak kecil dari jalanan, karena anak itu sudah berhari-hari tidak makan. Kedua matanya kecil sampai berkilat-kilat saking laparnya. Namun ketika diberi roti, ia memakannya sedikit demi sedikit, pelan-pelan. "Saya takut, kalau habis saya akan merasa lapar lagi," ujarnya.
Di panti asuhan MC, anak itu lalu-dimandikan dan diberi pakaian yang layak. Tapi sorenya ia menghilang. Setiap kali dicari dan ditemukan, ia akan menghilang lagi. Akhirnya ketika dibuntuti, ketahuanlah ia pulang kepada ibunya. Di bawah pohon, di tepi jalan, si ibu nampak sedang memasak entah apa, dan anak itu di sampingnya. Anak itu memilih pulang, meski yang ia rasakan “rumah” hanyalah selembar tikar tua tanpa bantal, selimut, dan beratap pohon, di tepi jalanan. Kasih dan kehangatan ibu yang membuat si anak betah.