Penulis
Intisari-Online.com -Kehidupan di Afghanistan yang diliputi kemiskinan, memaksa orang-orang terlantar yang kelaparan untuk membuat pilihan putus asa.
Seorang wanita Afghanistan, Delaram Rahmati, sedang berjuang mencari makanan untuk delapan anaknya.
Sejak meninggalkan rumah keluarga di provinsi Badghis negara itu empat tahun lalu, keluarga Rahmati telah tinggal di gubuk lumpur dengan atap plastik di salah satu daerah kumuh kota Herat.
Kekeringan membuat desa mereka tidak layak huni dan tanahnya pun tidak bisa diolah.
Seperti sekitar 3,5 juta warga Afghanistan yang terpaksa meninggalkan rumah mereka, keluarga Rahmati sekarang tinggal di lingkungan pengungsi internal (IDP).
Tidak ada pekerjaan. Namun, wanita berusia 50 tahun itu harus membayar biaya rumah sakit untuk dua putranya, yang satu lumpuh dan yang lainnya sakit jiwa, serta obat untuk suaminya.
“Saya terpaksa menjual dua putri saya, yang berusia delapan dan enam tahun,” katanya, melansir The Guardian, Minggu (23/1/2022).
Rahmati mengatakan dia menjual putrinya beberapa bulan yang lalu seharga 100.000 afghani masing-masing (kira-kira £700/ sekitar Rp13,5 juta), kepada keluarga yang tidak dia kenal.
Anak perempuannya akan tinggal bersama Rahmati sampai mereka mencapai usia pubertas dan kemudian diserahkan kepada orang asing.
Di Afghanistan, bukan hal yang aneh untuk mengatur penjualan anak perempuan untuk pernikahan masa depan dengan membesarkannya di rumah sampai tiba waktunya bagi mereka untuk pergi.
Namun, ketika krisis ekonomi negara semakin parah, banyak keluarga melaporkan bahwa mereka menyerahkan anak-anak mereka pada usia yang semakin muda karena mereka tidak mampu memberi mereka makan.
Mirisnya, menjual masa depan putrinya bukan satu-satunya keputusan menyakitkan yang harus diambil Rahmati. “Karena hutang dan kelaparan, saya terpaksa menjual ginjal saya,” katanya kepada Rukhshana Media.
Menurut PBB, Afghanistan berada di ambang "krisis kemanusiaan dan keruntuhan ekonomi".
Kekeringan, Covid-19 dan sanksi ekonomi yang dijatuhkan setelah Taliban merebut kekuasaan pada Agustus 2021 memiliki konsekuensi bencana pada perekonomian. Kenaikan inflasi yang dramatis telah mengakibatkan melonjaknya harga pangan.
Perdagangan ginjal telah berkembang di Afghanistan selama beberapa waktu.
Tetapi sejak Taliban mengambil alih kekuasaan, harga dan kondisi di mana perdagangan organ ilegal terjadi telah berubah.
Harga ginjal, yang dulu berkisar dari $3.500 sampai $4,000 (sekitar Rp50 juta hingga Rp57,3 juta), telah turun menjadi kurang dari $1,500 (sekitar Rp21 juta). Namun jumlah orang yang menjual ginjal mereka terus meningkat.
Rahmati menjual ginjal kanannya seharga 150.000 afghani (Rp19,3 juta). Tetapi pemulihannya dari operasi tidak berjalan dengan baik dan sekarang, seperti suaminya, dia juga sakit, tanpa uang yang tersisa untuk mengunjungi dokter.
Lebih dari setengah dari perkiraan 40 juta penduduk negara itu menghadapi “tingkat kelaparan yang ekstrim, dan hampir 9 juta dari mereka berisiko kelaparan”, menurut badan pengungsi PBB, UNHCR .
Bagi semakin banyak orang Afghanistan, menjual ginjal adalah satu-satunya cara mereka mendapatkan uang untuk makan.
“Sudah berbulan-bulan sejak kami terakhir makan nasi. Kami hampir tidak menemukan roti dan teh. Tiga malam seminggu, kami tidak mampu makan malam,” kata Salahuddin Taheri, yang tinggal di perkampungan kumuh yang sama dengan keluarga Rahmat.
Taheri, 27 tahun, ayah empat anak, yang mengumpulkan cukup uang untuk membeli lima potong roti setiap hari dengan mengumpulkan dan menjual sampah daur ulang, juga sedang mencari pembeli untuk ginjalnya.
“Saya telah bertanya kepada rumah sakit swasta di Herat selama berhari-hari apakah mereka membutuhkan ginjal. Saya bahkan memberi tahu mereka jika mereka sangat membutuhkannya, saya bisa menjualnya di bawah harga pasar, tetapi saya belum mendengar kabar,” kata Taheri. “Saya perlu memberi makan anak-anak saya, saya tidak punya pilihan lain.”
Dua bulan telah berlalu sejak operasi ginjal Rahmat, dan uangnya sudah habis untuk membayar utang pengobatan. Sementara pemulihan dari operasi pengangkatan ginjal terus memburuk.
Baca Juga: Ini 3 Titik Pijatan Untuk Sakit Kepala Vertigo, Jangan Sampai Salah
“Saya sangat sakit. Saya bahkan tidak bisa berjalan karena lukanya telah terinfeksi. Sakit sekali,” katanya, seraya menambahkan bahwa penerima ginjalnya hanya membayar biaya operasi, dua malam di rumah sakit dan tagihan obat pertamanya.
Pada hari transplantasi, Rahmat sakit dan para dokter menolak untuk mengoperasi.
“Saya tidak bisa bernapas dengan benar, jadi dokter menurunkan saya dari ranjang rumah sakit, tetapi saya kembali. Saya memberi tahu mereka 'Saya senang dengan kematian saya sendiri, tetapi saya tidak bisa mentolerir melihat anak-anak saya lapar dan sakit',” katanya.