Penulis
Intisari-Online.com - Pandemi Covid-19 yang telah berlangsung selama 2 tahun ini masih belum berakhir.
Bahkan, dunia kembali harus menghadapi penyebaran varian baru, Omicron, setelah tahun lalu kewalahan mengatasi Covid-19 varian Delta.
Salah satu wilayah yang diperingatkan WHO bakal menghadapi infeksi varian Omicron besar-besaran adalah Eropa, terutama di negara-negara dengan tingkat vaksinasi rendah.
Masalah vaksinasi yang tak merata itu sendiri telah dikritik oleh WHO sebagai faktor yang membuka peluang bagi munculnya varian baru seperti Omicron.
Adanya kesenjangan vaksinasi juga disebut membuat pandemi Covid-19 tak kunjung berakhir.
Hal itu seperti ditekankan Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus.
Ia optimistis pandemi Covid-19 berakhir pada 2022 dan mengatakan bahwa dunia memiliki "alat untuk mengakhiri bencana ini", seperti yang diungkapkannya dalam unggahan yang dia bagikan di LinkedIn, Kamis (30/12).
Namun, Tedros memberi catatan bahwa "Semakin lama ketidakadilan berlanjut, semakin lama pandemi akan bertahan."
Menurutnya, dua tahun pandemi tak membuat 'alat' yang tersedia untuk memerangi Covid-19 merata di seluruh dunia.
Di Afrika, misalnya, tiga dari empat tenaga kesehatan belum divaksinasi.
Padahal di sisi lain, orang-orang di Eropa dan Amerika Serikat menerima dosis booster ketiga.
Pemberian vaksin booster kini menjadi cara untuk memerangi infeksi Covid-19 terutama dengan munculnya varian baru, tetapi, meratanya distribusi vaksin tak kalah pentingnya.
"(kesenjangan vaksinasi) mengunci kita ke dalam siklus kerugian, kesulitan, dan pembatasan yang berkelanjutan", kata Tedros.
Kondisi di Eropa yang diprediksi bakal menghadapi infeksi varian Omicron besar-besaran tampaknya menggambarkan hal tersebut.
Meski sebagian tingkat vaksinasinya tinggi bahkan mendapatkan vaksin booster, sebagian negara di Eropa masih berada pada tingkat vaksinasi rendah.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi varian Omicron akan menginfeksi lebih dari 50 persen populasi penduduk di Eropa dalam enam hingga delapan pekan ke depan, hingga dua bulan mendatang.
Direktur WHO untuk Eropa, Dr Hans Kluge mengungkapkan hal tersebut berdasarkan analisis dari Institute for Health Metrics and Evaluation, lembaga independen yang bekerja di bidang statistik kesehatan global.
Kluge menjelaskan bahwa negara dengan tingkat vaksinasi rendah mungkin akan melihat gelombang infeksi yang lebih parah dikarenakan virus varian baru.
"Kita akan melihat penyakit yang lebih parah di negara yang (penduduknya) tidak divaksinasi," imbuhnya.
Misalnya, di Bulgaria hanya 28 persen penduduk yang sudah mendapatkan dua dosis vaksin Covid-19. Sementara di Rumania, angka vaksinasi Covid-19 baru mencapai 40,5 persen, menurut data Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Eropa (ECDC).
Semakin mengkhawatirkan bagi Eropa karena bukan hanya Covid-19 saja yang mengancam.
Eropa juga kini tengah dihantui 'Twindemic', yaitu ancaman kembali beredarnya influenza pada tingkat yang lebih tinggi bersamaan dengan Covid-19.
Penguncian, pemakaian masker, dan jarak sosial yang telah menjadi norma di Eropa selama pandemi Covid-19 melumpuhkan flu musim dingin tahun lalu.
Protokol kesehatan (Prokes) tersebut untuk sementara membasmi virus yang secara global membunuh sekitar 650.000 per tahun, menurut angka Uni Eropa.
Baca Juga: Inilah Pertanda Mimpi Minum dalam Tidur Menurut Primbon Jawa, Apakah Pertanda Baik atau Buruk?
Tetapi, kondisi tersebut kini telah berubah ketika negara-negara di Eropa terlena dengan vaksinasi dan kurang ketat dalam menjalankan Prokes untuk memerangi Covid-19.
Pada Desember lalu, jumlah kasus flu di unit perawatan intensif Eropa (ICU) meningkat terus ke puncak dengan 43 pasien pada minggu terakhir tahun tersebut, data ECDC dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan.
Kembalinya virus bisa menjadi awal dari musim flu yang luar biasa panjang, yang bisa berlanjut hingga musim panas, pakar utama ECDC tentang influenza Pasi Penttinen mengatakan kepada Reuters.
Sebuah twindemic bisa memberikan tekanan berlebihan pada sistem kesehatan yang sudah kewalahan, ECDC menyebutkan dalam laporannya.
(*)