Reptil yang bersembunyi itu menjadi ancaman bagi semua orang mendekati pantai Sungai Nil, dimulai dari hewan-hewan lain.
Dalam sebuah papirus dicatat bahwa Kerajaan Baru memiliki beberapa mantra yang diperlukan untuk melindungi kuda-kuda yang menyeberangi sungai.
Bagi manusia sendiri, bahaya buaya malahan menjadi topik sastra.
Dalam ‘Satir Dagang’ misalnya, risiko yang dihadapi oleh tukang cuci yang mencuci di tepi Sungai Nil menjadi tetangga buaya, atau nelayan yang bekerja di sungai berbaur dengan reptil itu.
Dalam Dialogue of the Desperate Man dengan Ba-nya, protagonis menyatakan, “Lihat, namaku dibenci, lebih dari bau buaya, lebih dari duduk di gundukan pasir yang penuh buaya.”
Dalam ‘Papirus Westcar’, buaya yang fantastis mengintervensi kisah kecemburuan dan balas dendam.
Dikisahkan, pendeta Ubaoner mengetahui bahwa istrinya tidak setia kepadanya dan setelah mengetahui janji yang dijadwalkan oleh para kekasih, ia menciptakan buaya lilin yang dengan sihir, bisa hidup dan menjebak kekasih istrinya, membawanya ke dasar sungai.
Setelah beberapa insiden, hewan itu memakan pria yang malang, sementara istrinya terbakar sampai mati.
Meski demikian buaya bukan hanya binatang buas yang menakutkan.