Penulis
Intisari-online.com - Invasi Indonesia ke Timor Leste memang didasari beberapa hal termasuk pengaruh Barat.
Dalam tulisan Prof. Antonio Barbedo de Magelhaes, dari Universitas Oporto, Portugal, dengan tulisan "East Timor: A People Shattered By Lies and Silence."
Ada efek domino Uni Soviet, yang membuat Indonesia mencaplok Timor Timur (Timor Leste) tahun 1975.
Situasi politik internasional, pada tahun 1975, tidak diragukan lagi berbeda dengan yang kita miliki saat ini.
Pada sat itu dunia sepenuhnya menjalani Perang Dingin antara dua negara adidaya, Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Selain itu, pada tahun yang sama, Komunisme mengalami kemajuan yang luar biasa, baik di Afrika, Ethiopia, Angola, Mozambik, dll.
Jatuhnya rezim pro-Amerika Lon Nol, di Kamboja, pada 17 April 1975, dengan kedatangan koresponden ke kekuasaan Kmers Rouge.
Pengambilalihan oleh komunis Pathet Lao, dengan pengusiran "penasihat" Amerika dari Laos pada bulan yang sama.
Hingga jatuhnya Saigon ke tangan komunis Vietnam pada 30 April 1975, membuat Barat panik.
Gambaran kepergian mendadak Kedutaan Besar Amerika di Saigon adalah simbol kekalahan Barat melawan ekspansionisme Soviet yang pada saat itu tampaknya mustahil untuk dihentikan.
Dalam konteks geopolitik ini, dianalisis oleh para ahli strategi dunia dalam konteks "Teori Domino".
Menurutnya jatuhnya sebuah perdamaian akan menyeret bersama jatuhnya berikut, dan seterusnya.
Indonesia tampaknya menjadi salah satunya yang digunakan Barat, untuk menghentikan ekspansionisme Soviet, untuk mempertahankan "Dunia Bebas".
Selain itu, kapal selam nuklir Amerika, agar tidak terdeteksi oleh dinas intelijen Soviet.
AS perlu menggunakan perairan dalam di sekitar Timor Timur Utara, di mana Indonesia mengizinkan jalur tersebut.
Dalam konteks inilah dukungan yang diberikan oleh Pemerintah Amerika dan Pemerintah Barat lainnya terhadap invasi dan pencaplokan Timor Timur oleh pasukan Indonesia harus dianalisis.
Bahkan jika hanya ada sedikit komunis Timor, masih ada ketakutan bahwa rezim komunis mungkin akan terbentuk di pulau itu.
Ada ketakutan Timor Leste akan menjadi Kuba kedua, kali ini di Asia Tenggara, dan dapat mempengaruhi stabilitas regional dan menjadi berbahaya bagi kepentingan geostrategis Barat.
Keadaan ini dengan jelas dinyatakan dalam telegram tertanggal 21 Juli 1975.
Dalam rangkaian kunjungan seorang anggota terkemuka Kantor Luar Negeri Inggris, Gordon Dugga, ke Timor Timur :
"Adalah kepentingan Inggris bahwa Indonesia harus menyerap wilayah itu sesegera mungkin dan senyaman mungkin; dan jika sampai pada krisis dan ada perselisihan di Perserikatan Bangsa-Bangsa, kita harus tetap menundukkan kepala dan menghindari berpihak kepada Pemerintah Indonesia."