Penulis
Intisari-online.com - Invasi Indonesia ke Timor Leste 1975 dicap sebagai genosida terbesar abad ke-20.
Beberapa penulis menyebut ada dua ratus ribu orang tewas, dan penurunan populasi terjadi di Timor Timur, (nama wilayah itu sebelum menjadi Timor Leste).
Antara Deesember 1975 dan Desember 1981, rata-rata 308 orang Timor kehilangan nyawa mewakili 44% dari 696.000 jiwa di wilayah sebelum invasi.
Jumlah ini dianggap memiliki persentase terbanyak daripada pembantaian orang Yahudi oleh Nazi.
Pembantaian Yahudi berada di angka 5.250.000 dari mewakili 33% dari 15.750.000 orang, presentase ini lebih kecil daripda pembantaian di Timor Leste.
Meski demikian mengapa pembantain ini justru ditutupi dengan rapi, dan hampir politisi dunia bungkam.
Seperti ditulis oleh Prof. Antonio Barbedo de Magelhaes, dari Universitas Oporto Portugal, dalam tulisannya berjudul "East Timor: A People Shattered By Lies and Silence," menjelaskan hal ini.
Termasukpolitisi di Australia, Amerika Serikat dan bahkan Indonesia, bahwa invasi ke Timor Timur tidak hanya merupakan bencana besar bagi rakyatnya.
Tetapi juga kesalahan politik yang mengerikan.
Tak seorang pun di antara para pemimpin politik dunia membayangkan bahwa dua puluh tahun kemudian Rakyat Timor Timur masih akan melawan dan masalahnya seperti kerikil di sepatu, oleh Indonesia.
Meskipun hal ini menjadi masalah yang semakin memalukan bagi Indonesia sendiri.
Mengkondisikan modernisasi politiknya dan mempengaruhi citra internasionalnya, banyak politisi lebih memilih untuk melupakan masalah ini dengan menyembunyikannya.
Contohnya adalah, misalnya, presentasi oleh Dr. Henry Kissinger, mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, dari bukunya sendiri, "Diplomacy" di New York pada 11 Juli 1995.
Dia tidak mengatakan satu kata pun tentang Timor Leste dalam ceramahnya yang telah disiapkan.
Tetapi Constancio Pinto, mantan kepala Perlawanan bawah tanah Timor, ditangkap dan disiksa di penangkaran dan sekarang tinggal di Amerika Serikat.
"Timor tidak pernah berdiskusi dengan kami ketika kami berada di Indonesia", jawab Kissinger yang menambahkan.
"Di bandara, ketika kami pergi, orang Indonesia memberi tahu kami bahwa mereka akan menduduki jajahan Portugis di Timor," katanya.
"Bagi kami itu tampaknya tidak seperti peristiwa yang sangat penting karena orang India telah menduduki koloni Portugis di Goa sepuluh tahun sebelumnya dan bagi kami itu tampak seperti proses dekolonisasi jadi, ketika orang Indonesia memberi tahu kami, kami tidak mengatakan ya atau tidak, kami benar-benar di bandara," jelasnya.
Di ruangan itu juga hadir Allan Nairn, seorang jurnalis Amerika yang telah dipukuli habis-habisan oleh tentara Indonesia sementara tentara lain membunuh lebih dari dua ratus demonstran Timor di Santa Cruz, Dili, pada tahun 1991.
Percakapan antara Kissinger dan Allan Nairn pun terungkap, di mana Amerika dituduh mendukung invasi tersebut, meski secara rahasia tidak diungkapkan kepublik.
Kissinger: "Dengar, saya pikir kita semua mengerti sekarang"
Nairn: "Pertanyaan saya, Dr. Kissinger, ada dua: Pertama, apakah Anda akan memberikan pengabaian di bawah undang-undang privasi untuk mendukung deklasifikasi penuh memo ini sehingga kami dapat melihat dengan tepat apa yang Anda dan Presiden Ford katakan kepada Suharto?"
Kedua, apakah Anda akan mendukung mengadakan pengadilan kejahatan perang internasional di bawah pengawasan PBB tentang masalah Timor Timur dan apakah Anda setuju untuk mematuhi putusannya sehubungan dengan perilaku Anda sendiri?"
Kissinger: "Maksud saya , eh, sungguh, komentar semacam ini adalah salah satu alasan mengapa pelaksanaan kebijakan luar negeri menjadi hampir mustahil dalam kondisi ini.
Inilah orang yang punya satu obsesi, dia punya satu masalah, dia mengumpulkan sekelompok dokumen, Anda tidak tahu apa yang ada di dokumen-dokumen ini.
"Faktanya pada dasarnya seperti yang saya gambarkan Timor bukanlah masalah kebijakan Amerika yang signifikan jika Suharto mengangkatnya, jika Ford mengatakan sesuatu, itu terdengar menggembirakan, itu bukan masalah kebijakan luar negeri Amerika yang signifikan."
"Masalah anti-kolonial di mana orang Indonesia mengambil alih Timor dan kami sama sekali tidak punya alasan pada waktu itu untuk menaruh perhatian besar terhadapnya."
"Kedua, Anda harus memahami hal-hal ini dalam konteks periode Vietnam baru saja runtuh."
"Belum ada yang tahu apa efek teori domino: Indonesia adalah negara kunci di Asia Tenggara."
"Kami tidak mencari masalah dengan Indonesia."
"Dan alasan saya keberatan di Departemen Luar Negeri untuk meletakkan hal ini, kemudian mengarah pada beberapa konfrontasi publik dan posisi mendasar tentang masalah Hak Asasi Manusia ini adalah selalu mencoba mendiskusikannya terlebih dahulu, diam-diam, sebelum berubah menjadi konfrontasi publik."