Penulis
Intisari - Online.com -Di tengah konflik bersenjata dalam negeri dan bencana kelaparan di wilayah Tigray, Ethiopia masih harus bersatu untuk angkat senjata melawan tekanan dari luar.
Negara itu kini sedang memperjuangkan hak mereka atas sungai Nil Biru, atau yang dinamakan di Ethiopia dengan nama Abay.
Sungai ini menjadi sumber kehidupan utama Ethiopia, dan kini mereka bersiap untuk mempertahankannya.
Mengutip Lowy Institute, pada 10 tahun belakangan, negara paling padat penduduk kedua di Afrika ini telah membangun bendungan besar bernama Grand Ethiopian Renaissance Dam (GERD), 40 kilometer dari perbatasan dengan Sudan.
Bendungan ini menjadi langkah politik rezim yang kini digulingkan, karena pemerintahannya yang dulu membangun bendungan dan kini melawan pemerintahan federal atas Tigray dan Perdana Menteri Abiy Ahmed yang menang pemilu 2018.
Setelah komplit, GERD akan mampu memproduksi listrik sebanyak 6.450 megawatt (MW), membuatnya menjadi bendungan terbesar di dunia dan bendungan terbesar di Afrika melihat produksi listriknya.
Hal ini karena hanya ada 5 bendungan di luar China yang memiliki kapasitas produksi installasi lebih besar.
GERD ini nantinya akan dua kali produktifnya dengan Skema Hidro-elektrik Snowy Mountains di Australia, yang memiliki kapasitas sebesar 3800 MW.
Sudan dan Uganda sama-sama membangun bendungan Nil besar beberapa tahun terakhir ini, dan juga ada sejumlah bendungan lebih tua pada wilayah Sudan di Nil Biru.
Sampai saat ini, bendungan terbesar di sungai Nil terbesar adalah Aswan milik Mesir, yang kapasitasnya mencapai 2100 MW.
Selesai tahun 1970, bendungan itu mengubah Mesir dengan mengakhiri banjir musiman Nil, menciptakan ratusan ribu hektar lahan yang bisa ditanami dan teririgasi, dan membawa listrik kepada jutaan warga Mesir.
Mereka juga membangunnya tanpa berkonsultasi dengan negara di atas mereka, membuat kesepakatan kolonial yang mana Ethiopia yang meloloskan diri dari kolonisasi, tidak pernah terlibat dalam kesepakatan tersebut.
Baca Juga: Teknologi Canggih Israel 'Sulap' Negara Miskin di Afrika Jadi Ladang Pangan Makmur
GERD bisa menjadi momen Aswan bagi Ethiopia, menjanjikan menyediakan listrik bagi jutaan warga Ethiopia.
Saat ini hanya 47% warga Ethiopia dari seluruhnya 115 juta yang mendapatkan listrik.
Bendungan ini bisa menjadikan Ethiopua sebagai sumber energi bersih, menyediakan energi murah untuk negara-negara ekonomi berkembang.
Namun perlu diingat banyak yang berubah sejak 1970.
Saat itu Mesir hanya dihuni 27 juta orang, Ethiopia 22 juta, dan Sudan 8 juta.
Tahun 2020 kemarin, populasi Mesir mencapai 102 juta, Ethiopia 115 juta dan Sudan 44 juta.
Namun pertumbuhan populasi di masa depan Ethiopia-lah yang paling mengerikan karena akan meledak, meningkat 2 kali lipat tahun 2050 mencapai lebih dari 200 juta.
Mesir diprediksi tumbuh mencapai 160 juta, dan Sudan menjadi 80 juta.
Bahkan jika pertumbuhan populasi melambat, jumlah air yang tersedia tentu saja tidak akan meningkat dengan dasar per kapita, tapi per individu.
Akibatnya, kekhawatiran Mesir terkait GERD adalah gambaran mengenai konflik di masa depan terkait tantangan air dan listrik.
Lebih dari 80% dari air Nil yang mencapai Mesir datang dari Nil Biru dan dataran tinggi Ethiopia.
Dalam keberatan mereka terhadap GERD, Mesir telah mengatakan hal ini sebagai isu keberadaan nasional.
Pertanyaan mengenai emosi dan identitas telah diabaikan untuk membantu argumen teknis dan bahan mengenai jaminan keamanan air.
Konsepsi yang saling bersaing tentang identitas dan hak negara membuat kompromi teknis atas operasi bendungan jauh lebih sulit untuk dicapai.
Namun, lebih dari 80 persen air Mesir dikonsumsi oleh pertanian, yang meningkat jumlahnya lebih banyak ditujukan untuk ekspor daripada kebutuhan lokal.
Apa risiko GERD bagi Mesir mengganggu harapan nasional bahwa negara itu akan selalu subur, menentang gurun pasir.
Pada bulan September, Ethiopia mengumumkan bahwa GERD akan mulai memproduksi listrik dalam beberapa bulan mendatang.
Pembangunan bendungan terus berlanjut meskipun ada kebuntuan dalam negosiasi trilateral antara Mesir, Ethiopia dan Sudan.
Untuk saat ini, hujan deras dan aliran musiman yang tinggi di sungai telah mencegah krisis, memungkinkan bendungan untuk diisi tanpa konsekuensi hilir yang signifikan.
Tetapi selama beberapa tahun, karakterisasi perselisihan telah berubah sedikit; perselisihan bendungan telah berlangsung seolah-olah hari penyelesaian tidak akan pernah datang.
Karena skalanya, kasus GERD bisa menjadi contoh penting tentang bagaimana mendekati, atau tidak mendekati, pengelolaan air lintas batas di masa depan di dunia yang semakin langka air.
Lebih dari 260 daerah aliran sungai melintasi perbatasan dua negara atau lebih, dan sekitar 40 persen populasi dunia tinggal di daerah aliran sungai dan danau lintas batas.
Meskipun tidak semua daerah aliran sungai lintas batas dibagi oleh negara-negara yang berselisih, keharusan untuk kerja sama regional mungkin masih belum mengalahkan kepentingan nasional.
Di Ethiopia, terlepas dari perang, ekonomi yang memburuk, dan tekanan internasional yang meningkat, GERD adalah prioritas yang tak terbantahkan dan kebanggaan nasional; untuk beberapa, itu bahkan alasan untuk mendukung pemerintah Abiy.
Mengingat kesulitannya saat ini, retorika kebangkitan Ethiopia mungkin dilebih-lebihkan, tetapi terlepas dari tantangannya, ambisi pembangunan Ethiopia tetap sangat nyata.