Find Us On Social Media :

Pantesan Jenderal Soeharto Tidak Jadi Korban Penculikan PKI, Terkuak Ternyata Dirinya Berada di Tempat Ini Saat Peristiwa G30S Terjadi

By Afif Khoirul M, Rabu, 22 September 2021 | 10:37 WIB

Soekarno dan Soeharto.

Intisari-online.com - Insiden G30S adalah salah satu peristiwa bersejarah yang terjadi di Indonesia.

Para Jenderal diculik dalam insiden ini di mana sebagian besar diculik kemudian dibunuh oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).

Namun dari sekian banyak jenderal ada satu jenderal yang lolos dari penculikan tersebut.

Ia adalah Jenderal Soeharto, lantas di manakah dia berada?

Baca Juga: Titik Balik Penting 'Peristiwa Berdarah G30S' Banyak Dianggap Tergambar dari Keputusan Soekarno saat di Halim Ini hingga Membuat Brigjen Supardjo Lesu dan Kecewa

Melansir Tribunnews, pada saat insiden G30S terjadi, bahkan iu Tien pun tidak mengetahui keberadaan Soeharto.

Padahal saat itu, beliau menjabat sebagai Pangkostrad.

Ajudan hingga seior Pangkostrad Bob Sudijo diam, hanya mengarakn rahasia saat penculikan jenderal terjadi.

Ibu Tien gundah gulana, bahkan adik Soeharto, Probojudjo sempat mengamuk dan minta izin 2 jenis senjata di rumah.

Baca Juga: Siapa Sangka, Ayah Nadiem Pernah Dikirimi Bedak dan Gincu oleh Soe Hok Gie karena Dianggap Jadi Pengkhianat Setelah Diberi Jabatan Ini dari Pemerintahan Orba Soeharto

Lantas di mana Soeharto?

Kolonel Abdul Latief, Komandan Garnisun Kodam Jaya mengatakan, kepada Mahkamah Militer alasan Soeharto tidak diculik.

"Karena kami anggap Jenderal Soeharto loyalis Bung Karno, maka tidak kami jadikan sasaran," kata Latief dikutip dari buku G30S: Pelaku, Pahlawan dan Petualang (2010).

Kisahnya berawal pada 1965, saat militer pecah menjadi beberapa faksi yang saling memperebutkan kekuasaan.

Diantaranya sebagian kecil simpati pada PKI, yang menjadi penguasa saat itu.

Setelah Perang Dunia II berakhir 1945, negara pemenang saling memperebutkan pengaruh.

Pengaruhnya adalah condong ke Uni Soviet dengan paham Komunisnya, atau Amerika dengan paham Kapitalisnya.

Presiden Soekarno dan PKI lebih condong ke Uni Soviet yang dikenal antibarat.

Baca Juga: Penyelesaian Pemberontakan PKI Madiun 1948 dengan Kolonel A.H. Nasution Memimpin Operasi Penumpasan

Sedangkan Dewan Jenderal yang diyakini sejalan dengan AS ingin menyingkirkan Soekarno.

Dari keyakinini, para perwira yang loyal pada Soekarno bergerak secara diam-diam untuk mencegah kudeta.

Mereka antara lain, Kolonel Abdul Latief (Komandan Garnisun Kodam Jaya), Letkol Untung (Komandan Batalion Pasukan Pengawal Presiden Cakrabirawa), dan Mayjen Sujono (Komandan Resimen Pertahanan Pangkalan di Halim).

Mereka mendapat dukungan Sjam Kamaruzaman, kepada Biro Khusus (BC) PKI yan merupakan badan intelijen PKI, lalu daftar jenderal pun disusun, namun tak ada nama Soeharto.

Simpatisan PKI berencana menculik jenderal dan membawanya ke hadapan Soekarno, tetapi gagal total dan malah dibunuh.

Latief juga melapor ke Mayjen Soeharto yang kala itu menjabat sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat.

Langkah mengejutkan ini dilakukan Latief setelah laporannya tak ditanggapi oleh Pangdam Jaya Mayjen Umar Wirahadikusumah dan Pangdam Brawijaya Mayjen Jenderal Basoeki Rachmat.

Latief menyebut sudah beberapa kali mewanti-wanti adanya upaya kudeta oleh Dewan Jenderal.

Baca Juga: Pemberontakan PKI Madiun 1948: Latar Belakang Lengkap, Jalannya Pemberontakan, dan Penyelesaiannya

Menurut Latief, Soeharto ketika itu hanya bergeming mendengar informasi itu.

Bahkan di malam 30 September 1965, Soeharto memilih mengabaikan Latief yang menyampaikan rencananya menggagalkan kudeta.

Soeharto mengakui ia bertemu dengan Latief menjelang peristiwa G30S.

Namun dirinya memberikan kesaksian yang berganti-ganti.

Dalam wawancara dengan Der Spiegel pada 19 Juni 1970, Soeharto mengaku ditemui di RSPAD Gatot Subroto oleh Latief pada malam 30 September 1965.

Soeharto saat itu tengah menjaga anak bungsunya, Hutomo Mandala Putra alias Tommy yang dirawat karena luka bakar akibat ketumpahan sop panas.

Namun katanya, Latief tidak memberi informasi apa-apa, justru akan membunuhnya saat itu juga.

"Dia justru akan membunuh saya. Tapi karena saya berada di tempat umum, dia mengurungkan niat jahatnya itu," kata Soeharto.

Namun dalam otobiografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1988), Soeharto mengaku hanya melihat Latief dari kejauhan dan tak sempat berinteraksi.