Wajib di Era Soeharto, Pemutaran Tiap Tahun Film G30S/PKI Dihentikan Sejak Tahun 1998, Ini Tokoh di Balik Penghentiannya

Khaerunisa

Penulis

Poster film G30S PKI

Intisari-Online.com - Wajib diputar tiap tahun menjelang peringatan Hari Kesaktian Pancasila di Era Kepemimpinan Soeharto, merupakan salah satu fakta menarik film berjudul 'Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI;.

Film tersebut merupakan karya besutan sutradara kawakan Arifin C Noer.

Sebelumnya, Arifin juga pernah membuat film berjudul Serangan Fajar, Suci Sang Primadona, Petualang Petualang, Harmonikaku, dan Yuyun.

Namanya kian bersinar dengan film 'Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI' atau lebih dikenal sebgaai Pengkhianatan G30S PKI.

Baca Juga: Pemeran Soeharto dalam Film G30S PKI, Inilah Amoroso Katamsi yang Sempat Lakukan Observasi dengan Soeharto sebelum Pembuatan Film

Pada tahun 1984, film ini memecahkan rekor penonton wilayah DKI melebihi film-film sebelumnya.

Sampai Desember 1984 di DKI Jakarta film ini menarik penonton hingga 699.282, mengungguli top box office 1982 yakni Nyi Blorong yang mencetak penonton 354.790 penonton.

Dijadikan film wajib di Era Soeharto, film G30S/PKI ini pun kerap disebut sebagai propaganda ala rezim Orde Baru kala itu.

Tetapi kemudian pemutarannya tiap tahun dihentikan pada 1998 usai lengsernya Soeharto.

Baca Juga: Kabar Gembira Bagi Para Wanita Se-Indonesia, Coba Minum Ramuan Jahe Campur Gula Merah Tiap Hari, Ternyata Bisa Berikan 8 Manfaat Luar Biasa Bagi Tubuh!

Setelah 13 tahun lamanya terus diputar, Film G30S/PKI tak lagi menjadi film wajib.

Melansir Kompas.com (20/9/2017), setidaknya ada tiga tokoh sentral yang berperan dalam dihentikannya pemutaran film Pengkhianatan G30S/PKI.

Mereka adalah Marsekal Udara Saleh Basarah, Menteri Penerangan Yunus Yosfiah, dan Menteri Pendidikan Juwono Sudarsono.

Seperti ditulis Majalah Tempo, Menteri Pendidikan Juwono Sudarsono saat itu mengatakan, ia pernah ditelepon Marsekal Udara Saleh Basarah, Kepala Staf Angkatan Udara KSAU (1973-1977) sekitar bulan Juni-Juli 1998.

Baca Juga: Tafsir Lupa Berdasarkan Waktu Kejadian Menurut Primbon Jawa, Ada yang Bermakna Berjumpa Kawan Lama dan Dapatkan Keberuntungan

"Beliau keberatan karena film itu mengulang-ulang keterlibatan perwira AURI pada peristiwa itu (30 September)," kata Juwono ketika diwawancarai 28 September 2012.

Sebagai menteri pendidikan kala itu, Juwono meminta kepada para ahli sejarah untuk meninjau kembali kurikulum pelajaran sejarah tingkat SMP dan SMA, khususnya yang memuat peristiwa-peristiwa penting.

Hal itu supaya informasi yang diperoleh siswa didik lebih berimbang.

Sementara Menteri Penerangan saat itu Letjend (Purn.) TNI Yunus Yosfiah, mengatakan, pemutaran film yang bernuansa pengkultusan tokoh, seperti film Pengkhianatan G30S/PKI, Janur Kuning, dan Serangan Fajar tidak sesuai lagi dengan dinamika Reformasi.

Baca Juga: Kabar Gembira Bagi Para Wanita Se-Indonesia, Coba Minum Ramuan Jahe Campur Gula Merah Tiap Hari, Ternyata Bisa Berikan 8 Manfaat Luar Biasa Bagi Tubuh!

"Karena itu, tanggal 30 September mendatang, TVRI dan TV swasta tidak akan menayangkan lagi film Pengkhianatan G30S/PKI," ujar Yunus seperti ditulis dalam harian Kompas, 24 September 1998.

Film itu sendiri menuai pro dan kontra banyak kalangan.

Sebagian kalangan percaya mengenai brutalnya kisah yang disajikan, sedangkan sebagian yang lain meragukan cerita yang ditampilkan sama seperti sejarah yang sebenarnya terjadi saat itu.

Baca Juga: Zodiak Bulan September Virgo dan Libra, Begini Sifat, Karier hingga Percintaan Mereka

Kualitas Film Ini Dipuji

Terlepas dari pro dan kontra yang terjadi, film Pengkhianatan G30S PKI karya Arifin C. Noor telah dipuji kualitasnya.

Seperti diungkapkan salah satu sinematografer yang juga seorang sutradara film The Origin of Fear (2016), Bayu Prihantoro Filemon, membagikan pandangannya.

Menurut Bayu, sejumlah adegan kekerasan dengan latar suara yang mencekam membuat film itu menyerupai film horor.

"Film ini bisa saya sebut 'horor paripurna'," kata Bayu dikutip Kompas.com.

Baca Juga: Bak Pilih Kasih, AS Tolak Mentah-mentah Saat India Minta Bantuan untuk Membangun Kapal Selam Nuklir Sejak Bertahun-tahun yang Lalu, Sebelum Perjanjian Aukus

"Karena film ini, dengan segala keterbatasannya, berhasil menebar teror sekaligus menjadi trauma generasi," kata sutradara yang memenangkan Best Short Film di Art Film Fest Kosice di Slovakia pada 2017 ini.

Film ini disebut menyuguhkan karya sinematografi dan seni peran yang paripurna. Ditambah, efek warna dan suara mencekam membuat penontonnya terbawa dengan suasana kelam saat itu.

Sutradara yang karyanya juga masuk dalam nominasi Best Short Film di Venice Film Festival ini menyebutnya sebagai pseudomemory sejarah bangsa.

Menurut Bayu, hal itu berhasil dicapai meskipun film ini masih memiliki banyak kekurangan dari berbagai sisi.

Baca Juga: Anda Penderita Kolesterol? Jangan Buru-buru Minum Obat, Ternyata Begini Cara Konsumsi Alpukat untuk Mengatasinya

(*)

Artikel Terkait