Taliban Menguasai Afghanistan, Bagaimana Posisi Pemerintahan Indonesia Terhadap Pemerintahan Baru Tersebut?

K. Tatik Wardayati

Penulis

Taliban berhasil menguasai pesawat A-29 Super Tucano

Intisari-Online.com – Setelah Taliban menguasai ibu kota Afghanistan dan Istana Kepresidenan, Indonesia belum menentukan sikap apakah akan mengakui atau menolak pemerintahan baru yang akan dibentuk.

Teuku Faizasyah, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI, mengungkapkan rencana penyelamatan para WNI di Afghanistan pada 18 Agustus lalu.

Namun, pada 20 Agustus, melansir kompas.com, Menlu Reno Marsudi menyatakan bahwa tim evakuasi telah membawa 26 WNI, termasuk staf KBRI.

Teuku Faizasyah mengatakan "proses ini masih sangat cair (fluid)" sehingga Indonesia perlu terlebih dulu melihat perkembangan ke depan.

Baca Juga: ‘Manusia Berhamburan di Jalan, Pengemudi Mobil Tak Ikuti Lagi Aturan’ Makin Tak Menentu Setelah Taliban Berkuasa, WNI Dievakuasi dari Afghanistan, Segera Tiba di Indonesia

Ketika BBC News Indonesia menanyakan padanya apakah pemerintah sudah berencana mengontak pemerintahan baru Taliban atau bakal memilih langkah lain, dia tidak menjawab.

Nostalgiawan Wahyudhi, peneliti Timur Tengah dari LIPI, menilai bahwa ‘menunggu’ adalah pilihan yang tepat.

Menurut dia, Indonesia perlu berhati-hati dan tidak gegabah menentukan sikap untuk mengakui atau menolak pemerintahan baru bentukan Taliban.

"Memang kita harus wait and see ya, perpindahan kekuasaan di sebuah negara kan kita tidak tahu seperti apa," terang Nostalgiawan.

Baca Juga: Zakia Khudadadi: Di ​​Tengah Gejolak Afghanistan dan Taliban, Impian Atlet Wanita Pertama Asal Afghanistan Ini Pupus? Memenuhi Syarat Paralimpiade Tokyo tapi Terjebak di Kabul

"Namun untuk ancang-ancang, yang diambil Indonesia untuk tidak over-reaktif itu memang cukup baik. Dalam arti, siapa pun yang berkuasa itu kita akan wait and see, apakah dilihat kondisi negara itu chaos atau tidak," sambungnya.

Nostalgiawan mengungkapkan, selain karena tidak ada ketergantungan secara ekonomi maupun politik dengan Afghanistan, Indonesita tidak pernah memiliki sejarah konflik sehingga mengharuskan negara bergegas menentukan sikap.

Jadi, tak ada urgensinya untuk cepat-cepat menentukan sikap.

Dia menyarankan, agar pemerintah Indonesia untuk menunggu dan menyaksikan apakah Taliban sungguh-sungguh mewujudkan komitmen mereka seperti dalam jumpa pers pertama atau sebaliknya.

Menurut Nostalgiawan, jangan sampai kebijakan politik yang keliru dan reaksi berlebihan terhadap apa yang terjadi di Afghanistan, justru akan merugikan Indonesia kelak.

"Jadi kita tidak pada posisi yang terlalu ekstrem seperti Amerika yang pernah di Afghanistan," kata Nostalgiawan.

Menakar janji Taliban mengubah kebijakan

Pada Minggu (15/8/2021), Taliban merebut ibu kota Afghanistan, Kabul, 20 tahun setelah mereka digulingkan oleh Amerika Serikat dan sekutunya dari kekuasaan.

Zabihullah Mujahid, juru bicara Taliban, dua hari setelahnya, menyatakan akan membentuk pemerintahan ‘Islamis yang kuat’ dan memberikan amnesti kepada mereka yang pernah bekerja dengan pihak asing.

Baca Juga: Pantas Sampai Berani Pasang Badan Bela Taliban, Terbongkar Sudah Hal yang Mati-matian Diincar China dari Afghanistan, Jaminan Digdaya di Masa Depan

Pemerintahan baru, menurut Nostalgiawan, kemungkinan akan berbeda dari masa kepemimpinan 1996-2001, yang terkenal dengan hukuman di muka umum, termasuk rajam dan pembatasan ketat terhadap perempuan.

Janji Mujahid, perempuan akan menikmati hak sesuai syariah, sementara media swasta bisa bertugas secara bebas dan independen.

Namun, Nostalgiawan mengamati hal itu mengaku tak terlalu optimistis akan perubahan Taliban.

Meskipun upaya-upaya mereka untuk membuka diri dan berdialog menurutnya patut diapresiasi.

Konferensi pers Taliban itu tutur Nostalgiawan, boleh jadi menjadi upaya mereka untuk mendapatkan simpati politik.

"Tapi bisa jadi juga sebagai upaya mekanisme pembelajaran yang mereka lakukan, bagaimana kegagalan mereka menguasai Afghanistan yang sebelumnya ya."

Terangnya, puluhan tahun silam Taliban pernah tersudut di titik terendah di mana langkah politik mereka malah berujung pada konflik berdarah, kehilangan akses kekuasaan, terusir dari pusat pemerintahan dan, tak mendapatkan dukungan dari warganya sendiri.

"Jadi dengan mengambil posisi yang tidak terlalu kontra mungkin banyak yang bisa kita kerjasamakan, tidak ada masalah," tutur Nostalgiawan.

"Kalau pengelolaan negaranya sama dengan Taliban yang sebelumnya, kita juga tidak dalam posisi yang telanjur nyemplung mengatakan mendukung kan. Kita bisa menghindar untuk tidak ikut campur kan," imbuh dia.

Baca Juga: Taliban Melakukan Perburuan dari Pintu ke Pintu Membawa Daftar Hitam, Dikhawatirkan Akan Terjadi Eksekusi Massal

Alih-alih memilih sikap ekstrem dengan mengakui pemerintahan baru Taliban atau menolaknya, Nostalgiawan justru melihat peluang Indonesia bisa mengambil pendekatan dialog dan mendamaikan, bertolok pada sejarah perdamaian yang pernah dikerjakan negara ini.

Dia juga menyinggung soal mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang sempat mengundang perwakilan Taliban.

Menurutnya, saat itu Taliban menunjukkan respons positif.

"Upaya-upaya ketika Taliban ke Indonesia dan melakukan dialog dan bertukar pikiran itu termasuk salah satu tanda dalam human relationship, baik itu secara politik ataupun sosial itu berarti kan mereka masih bisa berdialog," papar Nostalgiawan.

"Alangkah baiknya jika posisi Indonesia masih sama. ... Di posisi mendamaikan. Itu kalau dalam pendekatan luar negeri dan diplomasi jauh lebih baik dibandingkan kita langsung secara gegabah masuk ke salah satu pihak yang sebetulnya kita tidak perlu," kata dia meyakinkan.

Menurut Nostalgiawan, jika sudah begitu, Indonesia sebagai negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia, bisa menjadi contoh karena menempuh pendekatan yang berbeda.

"Kalau dibilang mau kontra, kita juga pernah mengundang Taliban untuk dialog. Mereka juga mengatakan, Indonesia lebih nyaman karena lebih menghargai, itu kan tandanya mereka bisa menilai kan bagaimana Indonesia bisa memberikan contoh," jelasnya.

"Kalau mau jadi pendukung juga, apa keuntungannya buat kita?" kata Nostalgiawan. (Ardi Priyatno Utomo)

Baca Juga: Pantas Sampai Bersikap Bodo Amat dengan Kondisi Afghanistan Saat Ini, Faktanya Joe Biden Sudah Jengah dengan Pemerintah dan Militer Negara Itu Sejak Zaman Obama, Sampai Beri Julukan Ini

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari

Artikel Terkait