Penulis
Intisari-Online.com -Tes keperawanan pernah menjadi salah satu proseswajib dalam seleksi militer Indonesia.
Namun tes keperawanantelah mendapat kecaman di seluruh dunia.
Diketahui, tes keperawanan adalah suatu praktik ginekologis yang dipercaya dapat menentukan apakah seorang wanita pernah atau belum pernah melakukan hubungan seksual.
Dilansir dariexpress.co.uk pada Kamis (12/8/2021), praktik ini melibatkan tes "dua jari" untuk menentukan apakah selaput daracalon prajurit wanita masih utuh.
Human Rights Watch menggambarkan prosedur tersebut sebagai bentuk kekerasan gender yang kasar, tidak ilmiah, dan diskriminatif.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahkantelah menolak tes ini sebagai tidak memiliki manfaat ilmiah atau indikasi klinis.
Akan tetapi ketiga cabang militer Indonesia - Angkatan Udara, Angkatan Darat dan Angkatan Laut - telah menggunakan tes keperawanan selama beberapa dekade.
Militer mengklasifikasikannya sebagai pemeriksaan psikologis untuk alasan kesehatan mental dan moralitas.
Dalam keadaan tertentu, bahkan tunangan perwira militer harus menjalani pemeriksaantersebut.
Namun kini militer Indonesia menghentikantes keperawanan untuk calonprajurit wanita.
Hal itu disampaikanKepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Andika Perkasa.
Andika mengatakan pemeriksaan himen atau selaput dara sebagai salah satu rangkaian tes kesehatan bagi calon prajurit Korps Wanita Angkatan Darat (Kowad) bakal ditiadakan.
"Soal himen atau selaput dara. Tadinya merupakan satu penilaian."
"Himennya utuh, himen ruptured (robek) sebagian, atau ruptured sampai habis."
"Sekarang tidak ada lagi penilaian itu," kata Andika dalam keterangan persnya yang disampaikan lewat video, Rabu (11/8/2021).
Dulu, tentara perlumelihat bagian perut hingga alat kelamin secara detail dengan pemeriksaan panggul, vagina dan leher rahim.
Termasuk soalselaput dara, apakah sudah pecah dan sejauh mana robekannya.
Namun militer Indonesia mengubah metode pemeriksaannya.
Di mana TNI akan lebih banyakmenekankanpada pengujian untuk buta warna, masalah tulang belakang, dan jantung.
“Tujuan pemeriksaan sekarang lebih difokuskan untuk memastikan bahwa rekrutan dapat menjalani kehidupan yang sehat dan tidak akan menghadapi masalah medis yang menyebabkan hilangnya nyawa,” jelas Andika.
Penggunaan "tes keperawanan" di Indonesia pertama kali diungkap oleh Human Rights Watch pada tahun 2014.
Saat itu, Nisha Varia, direktur advokasi hak-hak perempuan untuk organisasi tersebut, mengkritik pemerintah Indonesia karena menutup mata terhadap praktik merendahkan dan diskriminatif.
"Tes-tes ini merendahkan dan diskriminatif, dan mereka merusak akses setara perempuan ke peluang kerja yang penting."
“Polri dan militer Indonesia tidak dapat secara efektif melindungi semua orang Indonesia, baik perempuan maupun laki-laki, selama pola pikir diskriminasi merasuki barisan mereka,” tambahnya.
Pernahseorang gadis berusia 24 tahunmengatakan dia sangat trauma setelah pemeriksaan pada tahun 2014 silam.
Bahkan dia juga melihat seorang rekan di jajaran polisi pingsan karena rasa sakit.