Find Us On Social Media :

Peristiwa Rengasdengklok Bukan 'Penculikan' Melainkan 'Operasi Militer' yang Dilakukan Para Pemuda terhadap Soekarno-Hatta

By Muflika Nur Fuaddah, Kamis, 22 Juli 2021 | 17:46 WIB

Foto Presiden Soekarno membacakan naskah proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Cikini, Jakarta.

Chairul Saleh marah-marah, tapi dia juga tidak bisa apa-apa.

Kekuatan PETA makin berkurang. Serangan pun batal.

Bung Karno langsung bereaksi. “Sudah jelas revolusimu gagal. Lan­tas buat apa kalian menahan kami semua di desa ini?!” ia membentak Soekarni.

Baca juga: Tak Banyak yang Tahu, Inilah Alasan Sebenarnya Laksamana Maeda Mengizinkan Rumahnya Jadi Tempat Menyusun Naskah Proklamasi

Ahmad Soebardjo datang untuk menjemput Soekarno dan Hatta ka­rena yakin, walau rapat PPKI batal dilaksanakan pagi harinya, banyak hal bisa dilakukan di sana daripada menanti tanpa kejelasan di Rengasdengklok.

Akhirnya Kamis sore, 16 Agustus 1945, mereka semua kembali ke Jakarta.

Sampai di Jln. Pegangsaan Timoer sekitar pukul 20.00.

Pada pukul 23.00 Soekarno, Hatta, dan Ahmad Soebardjo pergi ke rumah Laksamana Tadhasi Maeda, Kepala Kantor AL Jepang di Djakarta merangkap pimpinan dinas intelijen Kaigun Armada Selatan.

Mereka berharap, perwira tinggi Jepang yang matang dalam penugasan di banyak negara, juga menyetujui pilihan bangsa Indonesia untuk merdeka, itu akan memberi jaminan keamanan.

Baca juga: Mangil, Kepala Polisi Pengawal Bung Karno yang Ternyata Tak Tahu Jika Proklamasi akan Dibacakan

Tapi ternyata mereka harus menghadap Mayjen Otoshi Nishimura, Direktur Departemen Umum Pemerintah Militer Jepang, yang bersikeras menganggap tentara Jepang terikat pada syarat-syarat penyerahan.

“Kami harus menyerahkan negeri ini kepada Sekutu dalam kondisi status quo.”

Soekarno membantah seraya mengingatkan pertemuannya dengan Marsekal Terauchi di Dalat, empat hari sebelumnya, bahwa pemerintah Jepang sudah menyerahkan kemerdekaan Indonesia kepada bangsa Indonesia sendiri.

Tapi Jenderal Nishimura juga ber­sikeras, sejak siang hari tadi datang peraturan baru dari Sekutu, pihak yang mengalahkan mereka, yang membuat mereka harus membatalkan janji kemerdekaan kepada bangsa Indonesia.

Itu yang mem­buat Hatta marah dan membentak, “Apakah itu janji dan perbuatan se­orang samurai?! Dapatkah seorang samurai menjilati sepatu lawan yang telah memenangkan pertempuran?! Kami bangsa Indonesia akan tetap berjuang, apa pun yang akan terjadi.

Kami akan menunjuk­kan kepada tuan-tuan bagaimana seharusnya sikap seorang samurai.”

Baca juga: SK. Trimurti, Saksi Mata Proklamasi yang Pernah Menolak Menjadi Menteri dan Pernah Menyusui dari Balik Bui

Suasana kalut. Rencana kemerdekaan yang sudah di depan mata terancam mentah lagi.

Para pemuda yang sudah tidak sabar ingin segera memberontak dengan risiko ber­hadapan dengan pasukan Jenderal Nishimura.

Soekarno, Hatta, dkk. ternyata tidak gentar.

Mereka bahkan cukup cerdik berlindung pada Laksamana Maeda dengan risiko membentur­kan kedua pemangku kebijakan Pemerintah Jepang di Djakarta itu.

Malam itu juga teks proklamasi dirumuskan di rumah Maeda.

Hatta mendiktekan, Soekarno yang menulis. Soekarni mengusulkan perubahan tapi ditolak oleh beberapa wakil golongan muda yang juga hadir.

Praktis forum itu menjadi seperti Panitia Persiapan Kemerdekaan. Waktu menunjuk­kan pukul 03.00 dini hari, Jumat 17 Agustus 1945.

“Oleh karena keadaan mendesak memaksa kami harus mempercepat perumusan proklamasi kemerdekaan,” kata Soekarno.

Baca juga: Saksi Bisu Sejarah Proklamasi Nasib, Bagaimana Riwayatmu Kini