Penulis
Intisari-online.com -Jagad media sosial dihebohkan dengan video menunjukkan sejumlah orang berlari berebut susu steril merk Bear Brand.
Video itu viral di media sosial Instagram dan Twitter.
Para warga tersebut memborong dan berebut mengambil serta memasukkan satu krat susu Bear Brand ke troli belanjaan mereka.
Hingga Sabtu 3 Juli 2021 kemarin, video itu trending sampai-sampai kata kunci Bear Brand, Susu dan Panic Buying menjadi trending topic di Twitter.
Mengutip Kompas.com, staf pengajar di Program Studi Gizi Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada (UGM), Lily Arsanti Lestari mengatakan jika imunitas tubuh kita bagus maka virus akan diserang imunitas tubuh.
Selanjutnya, sebagian besar orang yakin jika susu kaleng merk Bear Brand mengandung vitamin D, dipercaya dapat mencegah infeksi virus Corona.
Sehingga banyak yang percaya jika mengonsumsinya tidak akan menimbulkan kondisi yang parah.
"Tapi tidak terus hanya minum susu Bear Brand saja, imunitas tubuh bisa ditingkatkan juga dengan konsumsi pangan sehat lainnya," kata Lily dikutip dari Kompas.com.
Sumber makanan sehat antara lain protein yang didapat dari telur, ikan, daging, dan tempe.
Vitamin juga bisa didapat dari sayur dan buah.
Selanjutnya Lily menjelaskan di dalam susu memang terkandung protein sampai mineral, yang bermanfaat untuk kesehatan.
"Di susu ada protein, vitamin A dan B12, Zn, selenium, serta mineral lain yang bermanfaat untuk kesehatan," ujarnya dilansir dari Kompas.com.
Baca Juga: Waspadai Ledakan Kasus Covid-19 di Indonesia, Ini Beberapa Buah Guna Meningkatkan Daya Tahan Tubuh
Namun ia menganjurkan jangan hanya memilih satu produk susu tertentu untuk dikonsumsi.
"Tapi ya tidak harus bear brand, Bear Brand, susu yang lain juga bagus," ucapnya.
Fenomena panic buying
Indonesia sudah dua kali menyaksikan fenomena panic buying.
Selain menjelang PPKM Darurat pada Juli 2021 ini, juga ketika dikabarkan ada 2 pasien positif Covid-19 awal Maret 2020 lalu.
Saat itu, warga yang tinggal di Jakarta dan Depok mulai memborong masker, hand sanitizer serta stok makanan di supermarket.
Alasan mereka adalah takut kehabisan dan takut harga barang-barang tersebut akan meroket.
Sebenarnya fenomena panic buying ini tidak hanya terjadi di Indonesia.
Kondisi yang sama juga terjadi di negara lain yang sudah lebih dahulu menghadapi pembatasan aktivitas masyarakat baik lockdown ataupun mirip dengan PSBB maupun PPKM.
Warga Amerika Serikat (AS) juga memborong tisu toilet ketika AS memasuki masa pembatasan aktivitas masyarakat.
Psikolog dari klinik Hong Kong, Dr Cindy Chan juga menjelaskan aktivitas 'latah' yang merupakan tindakan naluriah manusia.
Semua berhubungan dengan upaya manusia mengendalikan hal di sekitar mereka.
Pandemi Covid-19 telah menuntun manusia sepakat dalam suatu kesimpulan: banyak sekali faktor tidak pasti di sekitar manusia, seperti keadaan yang masih tidak terkendali, ketidakpastian kapan pandemi berakhir, dan bagaimana manusia melawan infeksi virus Corona.
Faktor-faktor itu membuat manusia sama sekali tidak memiliki kendali atas hidup mereka sendiri.
"Manusia merasa perlu memiliki kontrol, jadi mereka keluar dan membeli banyak barang: nasi, tisu toilet, dan merasa mereka sudah melakukan hal terbaik untuk diri mereka, yaitu mengontrol kebutuhan. Itu adalah sebuah fenomena pemikiran kelompok, mentalitas kawanan," jelasnya dikutip dariSouth China Morning Post.
Dilihat dari ilmu saraf, pandemi Covid-19 dianggap manusia sebagai ancaman, membuat bagian otak bernama amygdala memproses rasa takut dan emosi.
Rasa takut ini kian besar sehingga amygdala bekerja secara berlebihan, membuat pemikiran rasional manusia mati sementara.
"Kita tidak bisa berpikir logis, dan mudah dipengaruhi oleh pemikiran kelompok, tindakan kita juga semakin irasional," ujar Chan.
Pendapat lain disampaikan Dr. Sara Houshmand, psikolog konselor di Pusat Kesehatan Hong Kong.
Ia mengatakan jika dalam kondisi ekstrim, perlindungan diri ini menyugesti tindakan antisipasi berlebihan.
Baca Juga: Miris! Panic Buying karena Corona, Kini Makanan-makanan yang Dibeli Justru Dibuang ke Tempat Sampah
Panic buying memperkuat penilaian tidak akurat, dan hanya memberi sensasi lega dan merasa mengambil alih kendali sesuatu yang masih bisa mereka kendalikan.
Sebuah perilaku hasil kegelisahan mencari cara memperkuat keyakinan bahwa kita sedang dalam bahaya.
Professor Psikologi di Universitas Hong Kong, Dr Christian Chan, menyebut jika tingginya level kegelisahan di gelombang kepanikan dan latahnya para warga tunjukkan kurangnya kepercayaan dengan pemerintah.
"Pertanyaannya adalah dari mana sumber info itu, siapa yang kamu percaya, dan hal itu yang sering kita lihat dengan orang-orang panik akan hoax.
Baca Juga: Jangan 'Panic Buying', Sebab Kebutuhan Pokok Aman Sampai 6 Bulan ke Depan
"Dalam sejarah, kepercayaan rakyat dengan pemerintah sudah tercatat rendah, orang-orang percaya pada mereka yang memberi mereka masker wajah baik itu seorang radikal maupun hanya seorang reporter. Pemerintah perlu meraih kembali kepercayaan orang-orang sehingga saat mereka bilang tidak ada lagi stok tisu toilet dan beras, orang dapat percaya."
Ucapan 'jangan panik' dari pemerintah justru membuat masyarakat lebih tidak percaya dengan pemerintah dan menjadi berpikir irasional serta berpikir pemerintah menyembunyikan sesuatu dari publik.