Penulis
Intisari-online.com -Sampai seminggu yang lalu, tampaknya Benjamin Netanyahu Perdana Menteri Israel bisa memenangkan semuanya.
Ia tampak bisa keluar dari kutukan 'semua karir politik berakhir dalam kegagalan'.
Cengkeraman kekuatan di Israel tampaknya melemah, tapi meski begitu Netanyahu masih meninggalkan politik sebagai Perdana Menteri Israel yang paling lama, dan satu yang paling konsekuensial.
Tahun lalu, Netanyahu berhasil mengamankan gebrakan sejarah bagi hubungan negara Yahudi dengan Dunia Arab.
Baca Juga: Didukung Joe Biden, Israel Semakin Gila Bombardir Jalur Gaza, Bahkan LebanonJuga Diserang
Perjanjian Abraham atau Abraham Accords berhasil menormalisasi hubungan antara Israel dan Uni Emirat Arab dan Bahrain.
Israel di bawah pimpinan Netanyahu berada dalam kondisi damai, berprospek dan keluar dari isolasi internasional.
Perjuangan panjang berdarah-darah dengan warga Palestina tidak ada.
Program vaksinasi melawan Covid-19 telah menunjukkan citra Israel sebagai negara yang begitu baik.
Hanya tersandung masalah korupsi dan kemungkinan dipenjara, maka warisannya akan aman.
Namun gara-gara kekerasan minggu lalu, rencana Netanyahu mengamankan masa depan Israel telah hancur akibat tangannya sendiri.
Gideon Rachman untuk Financial Times menuliskan, harapan Netanyahu bahwa isu Palestina bisa dikesampingkan hanyalah ilusi saja, dan dunia tidak bisa mengesampingkan Palestina.
Ketegangan yang dimulai karena gesekan antara polisi Israel dan pengunjuk rasa Muslim di Yerusalem telah meningkat pesat, dengan roket ditembakkan ke kota-kota Israel, Israel juga mengebom Gaza dan perpecahan kekerasan antara Arab dan Yahudi merebak di seluruh Israel.
Baca Juga: 47 Anak Palestina Tewas,Benjamin Netanyahu: Bukan Salah Israel, Itu Salah Hamas
Didorong oleh administrasi Trump, pemerintah Netanyahu telah mengikuti apa yang dimaksud strategi "keluar-masuk".
Ini adalah ide Israel seharusnya mengejar kesepakatan dengan dunia luar, tidak hanya dunia Arab, untuk membantu konflik internal mereka dengan Palestina.
Pendekatan ini kebalikan dari pendekatan tradisional "masuk-keluar" untuk konflik tersebut, yang menyebutkan Israel harus mendapat persetujuan dari Palestina, baru bisa diterima pihak internasional.
Ditandatanganinya perjanjian Abraham menjadi bukti jika strategi keluar masuk berhasil, Israel pun berharap Arab Saudi, negara paling kuat di dunia Arab, akan menjadi negara berikutnya yang mencapai hubungan internasional dengan mereka.
Baca Juga: Hamas Belum Juga Binasa, Benjamin Netanyahu: Israel Akan Terus Menyerang Jalur Gaza
Sedangkan bagi warga Palestina, ketakutan mereka adalah menurunnya dukungan Arab dan internasional maka mereka akan kehilangan niat untuk bertahan.
Aktivis HAM dapat terus mendukung mereka tapi dunia perlahan-lahan akan bergerak maju, memperbolehkan Israel membuat definisi mereka sendiri untuk menghapus populasi Palestina.
Beberapa warga Israel bahkan memperkirakan warga Palestina akan berakhir seperti Tibet, orang-orang yang aspirasi nasionalnya lama terlupakan.
Harapan jika kebijakan Netanyahu telah meredam isu Palestina telah tampak konyol.
Kecaman internasional untuk aksi Israel telah menguat, disebabkan kematian warga sipil di Gaza, termasuk banyak anak-anak kecil yang meninggal.
Selanjutnya, hubungan diplomatik dengan Israel lebih jauh lagi tampaknya tidak mungkin terlaksana.
Lebih parah lagi, kekerasan antara Yahudi dan umat Arab-Israel yang menyumbang 20% dari populasi Israel telah membawa konflik ke dalam perbatasan Israel, menuntun kepada perang sipil.
Bertahun-tahun belakangan ini, banyak politikus Israel berharap dan yakin Arab yang tinggal di dalam negara itu tidak lagi mengenali masalah Palestina dengan sangat sensitif.
Namun krisis terbaru telah membawa rasa persatuan bagi warga Palestina di Gaza, Tepi Barat, dan Israel sendiri.
Ide jika masalah Palestina bisa dilupakan tidak lagi valid, alih-alih strategi Netanyahu telah meningkatkan ancaman ke negaranya, dengan membuka front kekerasan baru di dalam Israel sendiri.
Ancaman itu pun akan terus ada meski kekerasan di Gaza telah berakhir.
Isu Palestina merebak lagi awalnya dikira karena strategi keluar masuk, tapi kenyataannya masalah ini mencuat lagi karena gerakan sayap kanan Israel yang berniat mendorong lebih jauh pencaplokan lahan dan rumah-rumah Palestina, yang kemudian menyebabkan kekerasan ini.
Namun kelompok sayap kanan ini sendiri telah mendapat legitimasi dari Netanyahu, karena ia mencari sekutu dalam upayanya tetap menjadi Perdana Menteri.
Satu-satunya keuntungan bagi Netanyahu adalah musuh dan oposisinya akan menunda menggulingkannya dan ia masih bisa menjabat perdana menteri.
Namun jabatan itu terasa tidak penting jika dunia internasional berpaling seutuhnya dari Israel.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini