Penulis
Intisari-Online.com - Israel merupakan salah satu sekutu berharga Amerika Serikat, dan hampir menjadi satu-satunya yang bisa diandalkan di Timur Tengah.
Namun, meski anak emasnya itu menghadapi bombardir militer Hamas, juga dikecam dunia, AS justru berada dalam situasi yang sulit untuk mendukung Israel.
Pada 12 Mei, kantor berita Reuters mengutip pernyataan militer Israel yang mengatakan bahwa sejak 10 Mei, setidaknya 1.000 roket telah diluncurkan terus menerus dari Jalur Gaza oleh gerakan Islam Palestina Hamaske Israel, terutama di Tel Aviv.
Sementara itu, sistem pertahanan Iron Dome Israel dikatakan berhasil mencegat sekitar 850 peluru.
Dari serangan Hamas itu, tidak diaporankan adanya korban jiwa.
Namun, beberapa bangunan di daerah yang terkena serangan menunjukkan tanda-tanda kerusakan.
Menanggapi serangan itu, Israel pada hari yang sama segera mengirimkan pesawat untuk menyerang banyak markas Hamas.
Akibatnya, 16 anggota pasukan Hamas termasuk seorang komandan senior, Bassim Issa, tewas. Lebih dari 35 warga sipil juga tewas dalam serangan udara Israel.
Menurut kantor berita Reuters, saling serang antara Israel dan Palestina dalam beberapa hari terakhir ini adalah yang paling serius sejak konflik 2014.
Saat itu, pertempuran itu menewaskan lebih dari 2.100 orang dan 10.000 lainnya luka-luka.
Menurut majalah Vox, kekerasan pecah pada akhir April ketika warga Palestina memprotes polisi Israel karena tidak mengizinkan mereka memasuki Yerusalem.
Warga Palestina menganggap hal itu sebagai tindakan membatasi kebebasan berkumpul dan kebebasan beragama, sementara polisi Israel bersikeras ini hanya melakukan langkah untuk menjaga ketertiban.
Baca Juga: Pancasila sebagai Sistem Filsafat untuk Menunjang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara
Selain itu, mereka juga marah karena belum lama ini pemerintah Israel mengusir beberapa warga Palestina dari rumah mereka untuk memberi jalan bagi pemukim Israel.
Hal tersebut juga telah menjadi penyebab utama banyak bentrokan sejak awal tahun ini.
Bermula dari keputusan Pengadilan Regional Yerusalem memenangkan pemukim Yahudi yang ingin pindah ke tanah yang menjadi rumah bagi banyak keluarga Palestina.
Israel kembali mendapat banyak kecaman dari dunia internasional terkait perlakuannya terhadap warga Palestina, AS pun berada dalam posisi yang sulit.
Baca Juga: Jangan Keburu Panik Jika Muncul Bercak Putih Putih di Wajah, Ini Penyebabnya dan Cara Mengatasinya!
Melansir 24h.com, situasi tegang antara Israel dan Palestina saat ini tentunya akan menjadi perhatian besar bagi pemerintahan Presiden Joe Biden.
Lalu, apakah AS bisa membela sekutunya di tengah kecaman dunia terhadap Israel?
Berbicara pada konferensi pers pada 12 Mei, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan Washington sangat prihatin dengan perkembangan di Jalur Gaza selama ini.
Ia juga menegaskan bahwa AS akan terus mempertahankan komitmennya untuk mendukung solusi dua negara.
Sementara Blinken menekankan bahwa Washington mendukung hak Israel untuk membela diri, tetapi memperingatkan bahwa setiap tindakan kekerasan saat ini akan membuat upaya rekonsiliasi semakin sulit.
Menurut CNN, juru bicara Bliken menunjukkan bahwa AS, meskipun masih mendukung, tidak dapat sepenuhnya memihak Israel setelah hilangnya nyawa dan harta benda akibat serangan udaranya.
Pada bulan Februari, Menteri Luar Negeri Blinken mengumumkan bahwa pemerintahan Biden akan mendorong masalah hak asasi manusia menjadi pusat era baru kebijakan luar negeri AS.
"Amerika Serikat berkomitmen untuk dunia di mana hak asasi manusia dilindungi, pembela hak asasi manusia dihargai, dan pelanggar dimintai pertanggungjawaban," kata Bliken.
Baca Juga: Jangan Keburu Diganti, Ternyata Ini Penyebab Ruangan Tidak Dingin Meski Sudah Nyalakan AC!
Dalam wawancara dengan Vox, Profesor Shibley Telhami dari University of Florida (AS) mengatakan bahwa sekaranglah saatnya AS berada di bawah tekanan untuk secara jelas menunjukkan prinsip penghormatan terhadap hak asasi manusia karena seluruh dunia sedang menyaksikan perkembangan di Jalur Gaza.
Jika AS tetap memberikan dukungan hanya untuk mempertahankan aliansi Israel, maka pemerintahan Biden berisiko kehilangan kredibilitas di mata komunitas internasional.
Terlebih, selain tekanan dari komunitas internasional, di AS sendiri juga ada banyak suara yang meminta Washington untuk mengutuk Israel secara terbuka.
J Street, organisasi nirlaba AS yang memperjuangkan perdamaian antara Palestina dan Israel, merilis pernyataan akhir pekan lalu yang meminta Biden untuk mengirim pesan yang jelas bahwa pengusiran Israel atas keluarga Palestina dari bagian timur Yerusalem sama sekali tidak dapat diterima.
Sementara itu, beberapa Demokrat juga menekan Biden.
Anggota Kongres Chris Van Hollen, anggota Komite Hubungan Luar Negeri Senat AS, baru-baru ini juga memposting di halaman Twitter resminya, mengingatkan Biden untuk tidak melupakan komitmennya mendukung hak asasi manusia ketika seluruh dunia sangat kecewa dengan perlakuan Israel terhadap Palestina.
Terlihat kondisi saat ini akan membingungkan bagi pemerintah AS. Apakah prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh pemerintahan Biden akan berlaku atau apakah ia akan terus menghargai dan mendukung hubungan dengan sekutunya Israel .
Disebut, itu akan tergantung pada seberapa baik Washington menyeimbangkan kepentingan nasional dengan negara-negara lain.
Namun, AS sendiri baru-baru ini menunjukkan sikapnya dalam pertemuan yang diadakan Dewan Keamanan PBB. Pada 12 Mei, Dewan Keamanan PBB mengadakan pertemuan darurat kedua tentang situasi tegang antara Israel dan Palestina.
Pada pertemuan tersebut, 14 dari 15 anggota dewan mendukung dikeluarkannya pernyataan yang menyerukan semua pihak untuk mengurangi ketegangan, kecuali AS. Alhasil, rapat pun berakhir tanpa pernyataan bersama.
Menurut seorang diplomat yang tidak disebutkan namanya, pihak AS menilai bahwa pertemuan Dewan Keamanan dua kali mengenai konflik Israel-Palestina sudah cukup untuk "menunjukkan kepedulian", sehingga tidak menyetujui pernyataan bersama.
Sebelumnya, dalam pertemuan pertama pada 10 Mei, delegasi AS juga tidak mendukung dokumen yang diusulkan oleh Tunisia, Norwegia, dan China, yang meminta semua pihak yang terlibat untuk menahan diri dari tindakan provokatif dan menuntut agar Israel berhenti mendeportasi keluarga Palestina di Yerusalem timur.
(*)