Penulis
Intisari-online.com -Administrasi Biden kecewa berat setelah Iran menolak tawaran dari Uni Eropa untuk melanjutkan pembicaraan nuklir dengan AS dan pihak yang terlibat lainnya pada Minggu.
Meski begitu mereka tetap membuka diplomasi dengan Iran.
"Sementara kami kecewa dengan respons Iran, kami tetap siap terlibat kembali dalam diplomasi berharga untuk mencapai hubungan setara sesuai dengan komitmen JCPOA," ujar juru bicara Gedung Putih.
"Kami akan berkonsultasi dengan mitra P5+1 kami untuk cara terbaik atas hal ini," tambah juru bicara itu.
P5+1 adalah anggota permanen dari Dewan Keamanan PBB: China, Perancis, Rusia, AS dan Inggris, serta Jerman.
Dikutip dari CNN, Wall Street Journal adalah yang pertama kali melaporkan penolakan Iran.
Penolakan Iran terhadap upaya pemerintahan Biden untuk memulai diplomasi dan mulai menarik Iran dan AS kembali ke kepatuhan dengan kesepakatan nuklir menandakan berapa lama dan rumitnya proses diplomatik yang bertujuan untuk menyelamatkan kesepakatan yang diharapkan itu.
Juru bicara Menteri Luar Negeri Iran Saeed Khatibzadeh mengatakan pada hari Minggu jika sekarang bukan waktu yang tepat untuk pertemuan tersebut.
Penolakan datang beberapa hari setelah serangan militer AS ke fasilitas militer Suriah yang dipakai kelompok milisi dukungan Iran.
Serangan tersebut merupakan langkah pertama Joe Biden menegaskan hubungan dengan Iran.
Sebelumnya ada serangan roket ke pasukan AS di wilayah perbatasan Irak-Suriah 2 minggu yang lalu.
"Sekelompok" milisi terbunuh di serangan tersebut, seperti pejabat AS sebelumnya memberitahu CNN.
Situs itu tidak secara khusus terikat dengan serangan roket, tapi Menteri Pertahanan Lloyd Austin mengatakan ia "yakin" serangan digunakan oleh milisi dukungan Syiah Iran yang juga menarget AS dan pasukan koalisinya di Irak dengan serangan roket.
"Hal ini tidak begitu memberi semangat," ujar seorang diplomat Eropa yang sudah kenal dengan penolakan Iran.
Iran ingin jaminan kelonggaran sanksi setelah pertemuan itu, ujar si diplomat.
Administrasi Biden, yang melihat gerakan Iran ini sebagai bagian dari proses diplomasi, telah mempertahankan jika mereka fleksibel dengan format pembicaraan ini.
Namun semakin lama membawa Iran berbicara, akan semakin sulit untuk menyelesaikan masalah ini, ujar diplomat Eropa itu.
Agensi Energi Atom Internasional (IAEA) dan Iran mencapai "kepahaman teknis" akhir pekan lalu dalam upaya mencegah pecahnya perjanjian yang akan disepakati selama 3 bulan.
Perjanjian harus didahulukan karena Iran bergerak maju dengan salah satu pelanggaran serius dari JCPOA: membatasi pemberitahuan singkat inspekturnya.
Rupanya, ada sedikit perbedaan dari keinginan Iran dengan keinginan Uni Eropa.
Dilansir dari Wall Street Journal, pejabat Uni Eropa ingin membicarakannya di Wina atau Brussels beberapa hari ke depan.
Sementara Iran ingin hal berbeda, Menlu Iran Javad Zarif sebelumnya ingin Uni Eropa berperan sebagai mediator, membantu persetujuan Iran dan AS setahap demi setahap sebelum Iran bertemu dengan AS.
AS sendiri mengatakan akan berkonsultasi dengan mitra Eropa termasuk Rusia dan China mengenai bagaimana cara Washington mencapai kesepakatan tersebut.
Namun AS tidak mau menyebutkan apakah AS akan menerima ide Iran agar Uni Eropa memediasi konsultasi tersebut.
Kini, upaya AS dan mitranya menahan program nuklir di negara yang sudah dituduh Washington menjadi sponsor terorisme dan mendukung Presiden Suriah Bashar al-Assad serta pendukung kelompok militan Hezbollah, Kataib Hezbollah dan Houthi, sudah berada di ujung tanduk.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini