Penulis
Intisari-Online.com -Nepal menjadi satu-satunya monarki yang runtuh di abad ke-21. Semuanya berawal dari pembantaian seluruh keluarga kerajaan oleh putra mahkota.
Lebih memilukannya lagi, sang putra mahkota Nepal tersebut pun pada akhirnya mengakhiri hidupnya sendiri.
Namun, hampir satu dekade kemudian, satu-satunya pewaris kerajaan yang selamat, yang kemudian mengisi kekosongan di singgasana dituding jadi dalang semua tragedi tersebut.
Berikut ini kisahnya.
Pustakawan Nepal, Ananta Koirala menggambarkan bahwa kondisi istana Nepal sendiri saat itu begitu jomplang dengan kehidupan rakyatnya.
Saat para anggota kerajaan meresakan kemewahan dan kemegahan di balik pintu istana, masyarakatnya justru harus bertarung dengan kemiskinan.
Mereka berkuasa selama 240 tahun, melansir South China Morning Post, sebelum akhirnya runtuh pada 2008.
Namun keruntuhannya berlangsung dengan sangat tragis, bertolak belakang dengan kemewahan.
Baca Juga: Tulisan Tangan Anak Delapan Tahun Ini Disebut Sebagai yang Tercantik di Dunia
Nepal sendiri sebelumnya dipimpin oleh seorang raja secara absolut dan baru menginjakan dunia demokrasi pada 1990.
Proses transisi dari kerajaan absolut ke demokrasi tersebut terjadi di bawah Raja Birendra.
Sementara putranya, Putra Mahkota Dipendra, sedang belajar di Inggris.
Sang putra mahkota yang digambarkan memiliki amarah besar tersebut kemudian dikabarkan mendobrak pintu ketika dia mendengar bahwa peran masa depannya sebagai raja sekarang akan berkurang.
"Dia semacam karakter ganda. Di luar, dia sangat lembut, sangat disukai semua orang," kata Letjen. Vivek Kumar Shah, seorang ajudan kamp di istana kerajaan selama 26 tahun yang mengenal Putra Mahkota Dipendra sejak kecil.
"Tapi di dalam, dari awal - mungkin, dia tidak mendapatkan cinta yang seharusnya dia miliki sebagai seorang anak. Itulah keyakinan saya," kata Shah.
Ia memiliki sifat sadis. Ia suka membakar kucing atau tikus. Ia akan menyukainya.
”Dipendra juga menyukai senjata. Shah mengatakan Putra Mahkota memiliki banyak pilihan di kamar tidurnya. "Dia punya MP5, senapan mesin ringan. Dia punya komando M16, senapan mesin ringan lagi. Dan kemudian, dia punya senapan berburu, pistol, sebut saja," kata Shah, seperti dilansirpri.org.
Namun, hal itu juga pada dasarnya selaras dengan tradisi keluarga kerajaan untuk membawa senjata, termasuk raja.
Putra Mahkotajuag dikenal suka ke pub dan sering berpesta, serta bernyanyi dan menari dengan teman-temannya
Dia ingin menikahiDevyani Rana, seorang gadis yang ditemuinya di Inggris, namun tidak disetujui oleh keluarga kerajaan dengan alasan memiliki kasta yang sedikit lebih rendah.
Jika sampai nekat menikahi wanita pujaannya tersebut, maka takhta yang begitu dia idam-idamkan harus rela diserahkan kepada orang lain.
Kembali ke masalah sistem pemerintahan yang bergeser dari monarki absolut ke demokrasi, pertentangan yang hebat terjadi di dalam lingkaran dekat istana.
Sangat banyak pihak keluarga kerajaan yang menentang keputusan sang raja, termasuk putra mahkota.
"Dia percaya pada peran konstitusional untuk monarki, bukan kediktatoran. Tapi saudaranya, yang kemudian menjadi raja, dan putranya sendiri, Putra Mahkota, sama sekali tidak setuju. Mereka merasa negara akan menjadi milik anjing," paparKunda Dixit, penerbit surat kabar Nepali Times.
Apalagi, pertentangan atara partai-partai berkuasa pun berlangsung sangat sengit hingga memicu perang saudara pada 1996.
Hingga akhirnya peristiwa tragis pun terjadi pada 1 Juni 2001.
Dipendra, sang putra mahkota, turun dari kamarnya dalam kondisi mabuk dengan mengenakan seragam tentara dan menenteng beberapa senjata.
Dia menembak ayahnya lebih dulu, lalu beralih ke orang lain. Salah satunya adalah sepupu ayahnya, Ketaki Chester. Dia kemudian memberi tahu tim dokumenter British Channel Four apa yang dia lihat sebelum dia melakukan penembakan.
"Raut wajahnya sangat menakutkan," katanya. "Aku masih mengingatnya, dan tetap saja, membuatku merinding ketika aku mengingat wajahnya. Dia tampak persis seperti Terminator 2 - benar-benar tanpa ekspresi, tapi sangat terkonsentrasi. Dan itu masih menghantuiku."
Akibat pembantaian tersebut, adik Dipendra,Gyanendra kemudian 'terpaksa' untuk naik takhta kerajaan Nepal.
Saat itu, banyak yang mencurigaiGyanendra sebagai dalang dari pembantaian keluarganya sendiri dengan tujuan besar untuk merebut takhta.
Apalagi, kala dirinya memimpin Nepal, sistem demokrasi yang dibangun oleh ayahnya dikembalikan menjadi monarki absolut.
Bahkan, demi memiliki kendali mutlak atas negaranya,Gyanendra juga membubarkan parlemen dan menghukum semua lawan politiknya.
Keputusannya tersebut kelak menjadi bumerang karena rakyat justru semakin jengan dengan kerajaan, belum lagi mereka pun masih menyimpan kecurigaan pada diriGyanendra dalam tragedi pembantaian keluarga istana.
"Saya juga mengira Raja, Gyanendra, terlibat dalam pembantaian kerajaan, dan dia adalah perencana utama. Ada panitia investigasi, dan itu memberi laporan, menyalahkan Pangeran Dipendra saat itu. Tapi… saya masih tidak percaya Dipendra membunuh mereka," tutur pustakawan Ananta Koirala
Sang raja kemudian secara bertahap kehilangan cengkeramannya atas Nepal, dimulai dengan mengembalikan anggota parlemen pada Mei 2006.
Pada akhir Desember 2007, keputusan tentang penghapusan monarki dalam pemerintahan Nepal resmi diluncurkan.
Hingga akhirnya tepat ada 28 Mei 2008, RajaGyanendra resmi didepak dari singgasananya.
Tak selesai di situ, mantan raja yang dibenci rakyatnya tersebut kemudian diasingka ke India.
Nepal pun resmi berubah menjadi Republik Federal dan menjadi satu-satunya monarki yang runtuh di abad ke-21.