Kemerdekaan Tak Mudah Didapat, Inilah Salah Satu Usaha Australia dalam Mendukung Kemerdekaan Indonesia

Khaerunisa

Penulis

Intisari-Online.com - Kemerdekaan tak mudah didapat, inilah salah satu usaha Australia dalam mendukung kemerdekaan Indonesia.

Meski telah memproklamasikan diri pada 17 Agustus 1945, namun perjuangan kemerdekaan Indonesia setelah itu masih cukup panjang.

Untuk menjadi negara merdeka, kedaulatan Indonesia juga harus mendapat pengakuan dari internasional.

Itu bukanlah hal mudah, terlebih kala itu Belanda ingin kembali menguasai Indonesia, bahkan menyebabkan sengketa berdarah.

Baca Juga: Sejarah Timor Leste Tak Lepas dari Revolusi di Portugal, Ini Fakta-fakta yang Perlu Diketahui Tentang Revolusi Anyelir Itu

Australia merupakan salah satu negara pertama yang mengakui kedaulatan Indonesia.

Bahkan, Australia yang saat itu bersekutu dengan Belanda, terpaksa membuat kebijakan baru soal hubungannya dengan Indonesia.

Sejarah mencatat Belanda telah berulang kali mencoba melakukan agresi militer untuk merebut kembali kekuasaannya di Indonesia.

Beberapa tokoh nasionalis Indonesia, termasuk yang sedang berada di Australia, mencoba melobi Pemerintah Australia.

Baca Juga: Trdengar Bunyi Berisik di Kandang, Siapa Sangka Warga Sumatera Utara Ini Temukan Harimau: 'Saya Bentak Dia Lah Waktu Itu'

Sementara di pihak Australia, untuk menunjukkan solidaritasnya, sekitar 4.000 pekerja kelautan bekerjasama dengan pelaut Indonesia melancarkan aksi pemogokan.

Mereka, menolak melakukan bongkar muat kapal-kapal Belanda yang membawa persenjataan milik Belanda.

Pasca Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, Australia juga mengirim delegasinya ke Indonesia.

Macmahon Ball, dosen senior ilmu politik di Universitas of Melbourne, dipercaya memimpin delegasi Australia ke Indonesia.

Baca Juga: Konflik China-India Makin Suram, China Tolak Tarik Pasukan dari Perbatasan, Rupanya Ini Jadi Siasat untuk Tekan Amerika Demi Wujudkan Dominasinya

Delegasi Australia kemudian bertemu dengan Soekarno dan kabinetnya, yang menjadi awal penting dalam hubungan diplomatik kedua negara, seperti kata Profesor Joe Isaac.

Profesor Joe Isaac, yang saat itu asisten dosen di jurusan ekonomi di Universitas of Melbourne merupakan sosok yang terpilih mendampingi Macmahon Bell karena memiliki pengetahuan soal Bahasa Belanda dan Indonesia.

Saat itu, salah satu permintaan yang diajukan PM Sjahrir adalah meminta masukan soal apa yang bisa dilakukan Australia untuk menyelesaikan masalah dengan pemerintah Belanda.

"Australia memiliki peranan penting untuk memfasilitasi konsiliasi, bahkan ada permintaan untuk membantu dan mengatur perdamaian di sana," kata Joe.

Baca Juga: Gempa di Majene, TNI AL Gunakan KRI Teluk Ende dan KAL Mamuju untuk Salurkan Bantuan, Seperti Apa Kehebatannya?

Australia Dipilih Indonesia sebagai Wakilnya untuk KTN

Australia juga telah duduk di komite badan PBB dan termasuk salah satu negara yang mendesak agar kemerdekaan Republik Indonesia segera diakui.

Pada tanggal 31 Juli 1947, Dewan Keamanan PBB mengadakan agenda sidang untuk membahas permasalahan Indonesia dan Belanda.

Dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (2005) karya M.C Ricklefs, India, Australia, Amerika Sertikat, dan Uni Soviet sangat aktifdalam mendukung Republik Indonesia dalam sidang tersebut.

Kemudian, sidang PBB pada tanggal 1 Agustus 1947 menghasilkan sebuah resolusi Dewan Keamanan PBB yang berisi seruan kepada Indonesia dan Belanda untuk menghentikan tembak menembak dan menyelesaikan konflik mereka dengan cara damai.

Dewan Keamanan PBB menggunakan cara arbitrase (perwasitan) untuk menyelesaikan konflik Indonesia-Belanda.

Baca Juga: Mengenal Operasi Barbarossa; Invasi Gagal Hitler ke Uni Soviet, Padahal Sudah Libatkan Tiga Juta Tentara dengan Ribuan Pesawat dan Artileri

PBB pun membentuk sebuah komite bernama Komite Jasa Baik untuk Indonesia yang lebih dikenal dengan Komisi Tiga Negara (KTN) pada 25 Agustus 1947.

Saat itu, Indonesia memilih Australia sebagai wakilnya (Richard C Kirby), sementara Belanda memilih Belgia (Paul Van Zeeland), dengan Amerika Serikat (Frank B Graham) sebagai pihak netral.

KTN sendiri berhasil mengadakan perundingan pada 8 Desember 1947 di kapal USS Renville.

Perundingan Renville dihadiri oleh Amir Syarifudin (Indonesia), R. Abdulkadir Wijoyoatmojo (orang Indonesia pro Belanda) dan Frank Graham (perwakilan KTN).

Baca Juga: Jamu Penggemuk Badan yang Sehat Satu Ini Tak Boleh Anda Lewatkan

Pokok bahasan dalam perundingan Renville adalah upaya gencatan senjata dan penyelesaian masalah Garis Demarkasi Van Mook.

Pada 19 Januari 1948, Belanda dan Indonesia sepakat untuk menandatangani perjanjian Renville.

Namun, ternyata pada pelaksanaannya cukup merugikan Indonesia.

Perjanjian ini masih belum mengakhiri sengketa kedaulatan Indonesia-Belanda, selanjutnya masih terjadi pertempuran dan beberapa perjanjian lain.

Baca Juga: Mengenal Operasi Barbarossa; Invasi Gagal Hitler ke Uni Soviet, Padahal Sudah Libatkan Tiga Juta Tentara dengan Ribuan Pesawat dan Artileri

(*)

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik dihttps://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari

Artikel Terkait