Find Us On Social Media :

Labuan Bajo: Jejak Perkembangan Kota yang Lekat dengan Tradisi Multikultur

By Ade S, Jumat, 4 Desember 2020 | 14:27 WIB

Salah satu lanskap hunian wilayah pesisir Kampung Air dan Kampung Baru, Labuan Bajo.

Pada 1904 terbentuklah komunitas penganut agama Katolik di Labuan Bajo yang berjumlah 99 orang, 70 orang berasal dari Larantuka berprofesi sebagai mengambil mutiara laut. Labuan Bajo semakin ramai, hubungan laut Makassar – Labuan Bajo pun semakin lancar dengan adanya jadwal kapal besar pengangkut penumpang sebanyak 4 kali dalam satu minggu mulai tahun 1905.

Tahun 1907, Flores bagian barat secara administratif dikuasai oleh pemerintah Belanda. Semenjak itu kegiatan pemerintah Hindia Belanda dan misionaris pun berkembang di Manggarai. Sampai pada 1910, Letnan Steyn van Hens Broek yang mencoba membuktikan laporan pasukan Belanda tentang adanya hewan besar menyerupai naga di pulau tersebut.

Pasca invasi Jepang, catatan kisah tentang Labuan Bajo seolah terhenti. Ingatan warga seniorlah yang kemudian muncul dalam bentuk mozaik narasi sejarah kota di pesisir barat Flores. Haji Syuting salah satu warga Kampung Air yang bercerita tentang perkembangan kampung pesisir Labuan Bajo yaitu Kampung Ujung, Kampung Tengah, Kampung Air.

“Kampung Ujung itu dulu namanya Kampung Cempah. Cempah itu Bahasa Bajo, artinya pohon asam. Dulu warga di Kampung Air ini pindahan dari sana. Tahun 1973 disuruh bongkar semua. Itu masa Gubernur Ben Boi, mau dibangun dermaga pelabuhan. Kami bakar itu rumah-rumah kayu, pindah ke sini,”ujar Haji Muhammad Syuting

Lelaki itu pernah menjadi kepala lingkungan kampungnya pada 1978-1999. Pria berdarah Bugis ini lahir di Bone tahun 1950. Dia mengaku tiba di Labuan Bajo dengan kapal bersama keluarga pada usianya yang ketujuh. Pada era tersebut banyak warga Makassar Wajo Bone migrasi ke Labuan Bajo akibat terjadinya Pemberontakan DI/TII yang dipimpin oleh Abdul Kahar Muzakar antara 1950-1965.

“Dulu tahun 1950-an yan pantai ini kosong. 1970-an saja hanya beberapa puluh rumah lah. Orang Bajo dan orang Bugis banyak di sini. Orang Bima ya ada juga. Dulu kami nelayan dan pelaut. Orang Bajo dulu tangkap ikan ya hanya pakai bubu. Orang Bugis yang buat bagan serong dan lainnya,” kenang Haji Syuting.

Dia juga pernah berprofesi sebagai koki di sebuah kapal ikan yang hilir mudik Labuan Bajo-Surabaya. “Wah itu jadi koki paling berkuasa, paling menentukan porsi makanan untuk awak sampai nahkoda,”ujarnya terkekeh. Ia mengaku masih mengingat beberapa upacara adat sebelum berangkat melaut, membaca bintang bulan matahari sebagai alat navigasi di laut.

“Dulu kami banyak yang bisa membaca arah pakai bintang. Apalagi nahkoda kapal. Harus tahu musim bagus, bintang timur bintang barat bintang babi. Kompas dulu itu pakai silet, diletakkan di atas piring yang ada airnya. Itu untuk arah barat dan timur, tapi ya pakai bintang saja cukup. Kalau jam tiga malam, muncul lihat bulan di mana bintang di mana, nanti bisa tahu di sana ada daratan. Ilmu itu, dari nenek-nenek kami,” jelasnya.

Haji Syuting yang juga mahir membuat kemudi kapal berbagai ukuran. Ia pun fasih menjelaskan adat tradisi orang Bugis termasuk menjelaskan rumah adat Bajo dan Bugis yang kini hanya tersisa bebeberapa saja.

“Di sini pastinya masih banyak yang bisa silat, pantun. Ada ahli gendang juga itu seperti Pak Dahlah. Haji Latuo itu ahli silat. Tradisi kawinan seperti mapaci diiringi bersanji juga masih ada. Yah memang jarang-jarang. Tapi masih ada,” ujarnya.

Kemudian dia menjelaskan makna di balik nama-nama orang Bugis dan Bajo. “Nama orang Bajo dan Bugis jaman dulu lucu-lucu. Misal Latuo artinya hidup, Rape tersangkut, Intang itu candik, Sape Wali itu malaikat, Pak Todo itu peniti, Pak Pacok itu patok. Banyak aneh-aneh. Kalau makanan ya pesisir ya, kuah asam, ada kue-kue itu banyak. Onde-onde, bepalaya, kacipo, tarajo, gogos, buras,” ujarnya.

Dia berkisah dengan mata yang berbinar-binar dan ingatan yang kuat.

“Banyak tradisi di sini, perlahan berkurang. Pengerasan pantai, kami tidak punya halaman laut lagi. Dulu halaman kami ya laut. Dulu… ada tetua semacam sesepuh di laut itu. Kami selalu doa sebelum berangkat melaut agar selamat ada Karang Tua,” tuturnya.

Beberapa tahun belakangan, Labuan Bajo kota kecil di wilayah paling barat Pulau Flores ini semakin populer. Mendengar kata Labuan Bajo akan berkelabat bayangan binatang komodo (Varanus komodoensis), pulau-pulau yang cantik, pantai-pantai berpasir putih dan pink, dan alam bawah laut yang memesona. Labuan Bajo telah menjadi destinasi wisata populer dan unggulan, bukan hanya nasional namun internasional. Tak hanya keistimewaan alam, kelindan warisan budaya pesisir dan pedalaman pun menjadi untaian mutu manikam identitas Kabupaten Manggarai Barat. Namun, dibalik itu semua, kawasan Labuan Bajo merupakan kawasan yang rentan dan harus dilindungi.

Sesungguhnya, Labuan Bajo adalah kota yang menjadi pintu masuk untuk mengakses Taman Nasional Komodo. Taman nasional ini telah dinobatkan menjadi Situs Warisan Budaya UNESCO pada 1991, bersama Candi Borobudur.

Selain pesona Komodo, pantai berpasir putih dan pink, dan alam bawah laut, Labuan Bajo ternyata memiliki kisah sejarah kebudayaan yang layak dibanggakan. Lapisan-lapisan budaya di kota pesisir cagar biosfer Indonesia itu belumlah lengkap tersingkap. Labuan Bajo masih membutuhkan narasi-narasi sebagai kota multikultur tempat berlabuhnya aneka suku dan bangsa.

Artikel ini sudah tayang di nationalgeographic.co.id dengan judul "Singkap Labuan Bajo: Jejak Perkembangan Kota dan Tradisi Multikultur".