Penulis
Intisari-online.com - Dalam laporan keuangan olehMenteri Keuangan Sri Mulyani berbicara soal utang negara pada 20 Juli 2020..
Dia menyampaikan pada masyarakat, untuk tidak memberikan stigma negatif terhadap stigma negatif proporsi utang Indonesia.
Sri Mulyani menyampaikan, kerap mendengar keluhan masyarakat soal keluhan utang negara yang terus membengkak, yang dianggap sebagai sesuatu yang mengkhawatirkan.
"Saya ingin sampaikan, kadang masyarakat sensitif soal utang, menurut saya itu tidak bagus, karena jika mau berbicara soalpolicy(ketentuan) utang ya kita bisa berdebat, jangan benci dan pakai bahasa kasar," kata Sri Mulyani.
Menurutnya, hampir semua negara di dunia ini tak ada yang terlepas dari utang negara.
Pinjaman diperlukan untuk menjaga pertumbuhan ekonomi, bahkan Sri Mulyani membandingkan dengan negara Islam di Afrika yang banyak utang.
Sementara itu menurut Bank Indonesia, mencatat utang luar negeri (ULN) Indonesia pada akhir Mei 2020 mencapai 404,7 miliar dollar AS (Rp5.868 triliun) dalam kurs Rp15.000.
Utang tersebut terdiri, ULN sektor publik (pemerintah dan bank sentral) sebesar 194,9 miliar dollar AS dan ULN sektor swasta (termasuk BUMN) sebesar 209,9 miliar dollar AS.
Kendati demikian, jika dibandingkan dengan Malaysia negara terdekat Indonesia, jumlah utang Indonesia ternyata juga lebih besar.
Menurut laman resmi bank sentral Malaysia, Bank Negara Malaysia per Juli 2020 tercatat sebesar RM832,79 miliar atau Rp2.839 triliun dalam kurs Rp3.446.
Jika dirinci keseluruhan, utang pemerintah Malaysia ini terdiri dari RM 631,322 miliar berupa utang domestik.
Sedangkan utang luar negeri Rp192,468 miliar.
Pemerintah Malaysia lebih banyak melakukan porsi peminjaman domestik ketimbang luar negeri.
Sedangkan jika ditinjau dari porsiutang, dalam laporan terbaru 2020, Indonesia memiliki rasio yang masih terjaga sekitar 30 persen dari PDB.
Malaysia justru lebih membengkak daripada Indonesia, yaitu 55,6 persen dari PDB mereka.
Situasi di Malaysia juga lebih mengkhawatirkan, menurutThe Star, situs berita Malaysia, lebih dari 80.000 warganya dinyatakan bangkrut sejak 2015.
Sejak 2015 hingga 2019, sebanyak 80.625 warga Malaysia telah dinyatakan bangkrut, menurut Dewan Rakyat dalam laporan terakhir Agustus 2019.
Dalam jawaban tertulis, Datuk Liew Kong mengutip statistisk Departemen Kepailitan mengatakan jumlah tertinggi kebangkrutan tercatat pada 2016 dengan total 19.588. Diikuti tahun 2015 dengan 18.457.
Tahun 2017, 18.227 Malaysia dinyatakan bangkrut kemudian 2018, ada 16.482 orang bangkrut.
Hingga terakhir pada Agustus 2019 7.871 orang Malaysia dinyatakan bangkrut.
Laki-laki adalah mayoritas dengan kasus 69.7% dari total keseluruhan.
Menteri di Depertemen Perdana Menteri, mengatakan bahwa kaum muda cenderung menghabiskan lebih banyak uang melebihi kemampuan finansial mereka.
Untuk mengtasi masalah ini, Liew mengatakan Badan Penyuluhan Kredit dan Manajemen Utang (AKPK) juga diminta memainkan peran dalam penyebaran kesadaran.
"Progam mereka melibatkan perencanaan keuangan dapat ditangani ada tahap pra-kebangkrutan," katanya.
"Manajemen keuangan yang hati-hati dan terorganisir akan memastikan posisi keuangan terbaik, Melalui pendidikan kaum muda Malaysia diharapkan lebih bijaksana menghindari kebangkrutan," ujarnya.