Penulis
Intisari-Online.com -Upaya China untuk menguasai dunia dilakukan dengan berbagai macam cara, salah satunya dengan jebakan utang.
China menjebak negara-negara yang lebih kecil dengan meminjamkan sejumlah besar uang yang tidak akan sanggup mereka bayar.
Dengan caranya itu, China dituduh memanfaatkan pinjaman besar-besaran agar dapat merebut aset dan membangun pangkalan militer di negara-negara kecil dunia ketiga.
Negara-negara, mulai dari Asia hingga Afrika, merupakan daftar panjang negara yang berada di bawah perangkap utang yang dipasang oleh China.
Bukan sekadar perkiraan, nyatanya memang sudah ada negara yang menunggak hutang dan dipaksa untuk menyerahkan kendali aset negaranya atau harus mengizinkan China untuk membangun pangkalan militer di negara tersebut.
Ada yang menyebut upaya licik China ini sebagai "diplomasi jebakan utang" atau "kolonialisme utang."
Para analis mengatakan, proyek BRI andalan China, yang diumumkan pada 2013, benar-benar merupakan upaya untuk memperluas pengaruh Beijing di seluruh dunia melalui cara yang adil dan curang.
Proyek tersebut telah menjadi proyek kebijakan luar negeri yang menjadi ciri khas pemimpin tertinggi Tiongkok Xi Jinping.
Melansir eurasiantimes.com (25/11/2020), BRI membanggakan partisipasi dari sekitar 138 negara dan 30 organisasi internasional, dengan investasi yang diusulkan untuk menghubungkan Asia, Afrika dan Eropa senilai $ 8 triliun.
Proyek ini telah menuai kritik yang luar biasa karena banyak kesepakatan bilateral dan multilateral antara negara-negara peserta terjadi dalam kerahasiaan mutlak.
Lembaga think tank yang berbasis di Washington, Center for Global Development memperingatkan bahwa 23 dari 68 negara yang mendapat manfaat dari investasi Belt and Road secara signifikan atau sangat rentan terhadap tekanan utang.
Laporan tersebut menyoroti sekitar delapan negara - Djibouti, Kyrgyzstan, Laos, Mongolia, Montenegro, Maladewa, Pakistan, dan Tajikistan - yang khususnya berisiko mengalami kesulitan utang.
Di atas kertas, BRI bertujuan untuk mendukung pembiayaan infrastruktur di negara-negara Asia, Eropa, dan Afrika, dengan memberikan triliunan dolar.
Namun, laporan tersebut, yang dikutip di atas, menyatakan “kekhawatiran bahwa masalah utang akan menciptakan tingkat ketergantungan yang tidak menguntungkan pada China sebagai kreditor. Peningkatan utang, dan peran China dalam mengelola masalah utang bilateral, telah memperburuk ketegangan internal dan bilateral di beberapa negara BRI.”
Ketakutan akan jebakan yang digunakan China terhadap negara-negara kecil untuk mendapatkan keuntungan strategis dari mereka terbukti benar ketika Sri Lanka gagal memenuhi kontrak untuk membangun Pelabuhan Hambantota, setelah itu sebuah perusahaan China mendapat sewa 99 tahun sebagai imbalan.
Istilah 'diplomasi jebakan utang' mendapatkan kepercayaan karena risiko teoretis menjadi nyata, dengan desain strategis Beijing menjadi sangat jelas untuk disaksikan semua orang.
“Pemindahan pelabuhan Hambantota ke Beijing di Sri Lanka dipandang setara dengan seorang petani yang berhutang banyak yang menyerahkan putrinya kepada pemberi pinjaman yang kejam,” kata analis strategis India, Brahma Chellaney dalam sebuah artikel.
Korban terbaru dari diplomasi jebakan hutang China adalah negara kecil yang kaya sumber daya yaitu Laos.
Reuters baru-baru ini melaporkan bahwa negara Laos menyerahkan mayoritas kendali jaringan tenaga listrik nasional ke China Southern Power Grid Company, sebuah perusahaan milik negara yang berkantor pusat di Guangzhou.
Cadangan devisa negara dilaporkan telah anjlok di bawah $ 1 miliar.
Hal itu memberikan kesempatan sempurna bagi China untuk menjerat Laos dengan penawaran investasi yang menguntungkan di negara tersebut.
Laos juga tahun ini diturunkan peringkatnya oleh lembaga pemeringkat Moody dari B3 menjadi Caa2, dan prospek negara-negara yang dililit utang diubah dari netral menjadi negatif karena "tekanan likuiditas yang parah."
Negara kecil Asia Tenggara itu telah berjuang untuk membayar kembali pinjaman China, dan akhirnya menyerahkan kendali mayoritas jaringan listrik nasionalnya ke China, dengan utang perusahaan listrik milik negara itu memburuk hingga 26% dari produk domestik bruto.
China telah disalahkan karena telah menjebak banyak negara miskin lainnya dengan menawarkan paket keuangan yang menguntungkan untuk menangkal default langsung, dan sebagai gantinya, mendapatkan kendali strategis pada aset strategis negara.
Negara-negara lain seperti Sri Lanka dan Pakistan telah terjebak dalam lingkaran setan mengambil pinjaman baru dari China dan membayar pinjaman lama sambil dipaksa untuk berkompromi pada aset strategis mereka.