Advertorial
Intisari-Online.com - Konflik Laut China Selatan dimulai karena klaim China.
Bahkan mereka tidak takut untuk menurunkan militernya.
Sehingga kita beranggapan China-lah yang paling kuat di wilayah itu.
Padahal ada negara lain yang tak kalah kuat dari China.
Pertama, negara berbahaya adalah sebutan yang dibuat oleh Amerika Serikat (AS) bagi negara-negara yang melanggar aturan setelah Perang Dunia II usai.
Tahun 1994, Penasihat Keamanan Nasional Tony Lake untuk administrasi Bill Clinton menyebut Cuba, Iran, Irak, Libya dan Korea Utara sebagai negara berbahaya.
Untuk disebut berbahaya, sebuah negara harus mencoba mendapatkan senjata pemusnah massal, mendukung terorisme dan menekan HAM warganya sendiri.
Departemen Luar Negeri AS telah resmi hentikan istilah tersebut pada tahun 2000.
Namun kini Mike Pompeo telah menggunakan lagi istilah itu terhadap China.
'Dosa' internasional China antara lain kebijakan dan aksinya di Laut China Selatan.
Pompeo menuduh China memiliterisasi Laut China Selatan, secara ilegal mengklaim wilayah maritim dan sumber dayanya.
China juga dituduh menekan rival mereka dan mengancam kebebasan navigasi negara lain di situ.
Tuduhan tersebut memang benar, setidaknya dari pandangan pemerintah AS.
Namun jika China memang negara bandit di Laut China Selatan, rupanya ia tidak sendirian.
Segala tindakan yang menyebabkan China disebut negara berbahaya bagaikan bandit tersebut rupanya juga dilakukan oleh AS sendiri.
Bahkan AS tidak hanya melanggar hukum internasional di Laut China Selatan, tapi di banyak tempat.
Tatanan internasional
Ada sebuah istilah bernama tatanan internasional, yang dulu dan sekarang merupakan sebuah aturan yang memusatkan semuanya kepada AS.
Strategi besar-besaran mempertahankan suatu wilayah masih banyak bergantung pada AS, sistem perdagangannya pun menurut aturan AS, dan sistem persekutuan di dunia semua diatur oleh AS.
Tatanan internasional sejatinya sangat-sangat bernilai 'serba AS' dan orang-orang tidak menyadarinya.
AS memang terlihat hanya satu-satunya yang bisa membangun tatanan internasional terutama setelah Perang Dunia II di mana mereka keluar sebagai pemenangnya.
Untuk sekarang, AS ingin mempertahankan dan memperkuat status mereka sebagai negara adidaya dan pencipta sekaligus penguasa tatanan internasional.
Namun, 4 tahun pemerintahan Trump, dengan mencela kesepakatan internasional, telah secara signifikan menghancurkan kredibilitas AS sebagai partner penting dalam penanganan hubungan internasional.
Akibat Trump dan Pompeo, AS telah turun dan mengacaukan tatanan internasional serta konsep komunitas internasional.
Mereka telah menghancurkan banyak sekutu mereka sendiri dan telah mengkhianati NATO.
AS juga telah menolak dalam Sidang Kriminal Internasional dan mencoba mengalihkan investigasi sidang melawan militer AS atas kekejaman perang di Afghanistan dengan melarang masuknya pejabat senior mereka.
AS juga menarik diri dari kesepakatan iklim Paris, Trans-Pasifik Partnership, Perjanjian Kekuatan Nuklir Jangkauan Menengah dan kesepakatan nuklir Iran.
Lebih berbahaya lagi, dari pandangan China, AS telah menekan mereka dengan apa yang menjadi urusan China dengan Taiwan.
Bahkan, AS sekarang mulai melanggar Pakta PBB dengan mengancam dan menggunakan kekuatan mereka seperti di Irak, untuk mencapai kepentingan politik internasional mereka.
UNCLOS
AS menolak menandatangani Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS), tapi menolak klaim China besar-besaran.
China adalah salah satu negara yang menandatangani UNCLOS tersebut, tapi mereka melanggarnya.
Hal ini timbulkan pertanyaan siapa yang lebih buruk: sosok yang melanggar perjanjian padahal sudah menandatanganinya atau sosok yang tidak menandatangi perjanjian internasional dan mengartikan beberapa poin perjanjian untuk keuntungan mereka sendiri.
Apa yang dilakukan China rupanya hal yang cukup sering dilakukan oleh negara lain, terutama terkait UNCLOS.
Namun yang dilakukan AS, dengan tidak menandatangani UNCLOS.
Tapi bahkan menggunakannya untuk mendapatkan kepentingannya sendiri termasuk langka, mengingat AS adalah satu-satunya negara besar yang tidak ikut dalam perjanjian tersebut.
Namun itulah yang dilakukan AS, lebih-lebih dengan operasi Freedom of Navigation yang menantang klaim China di Laut China Selatan.
(Maymunah Nasution)