Penulis
Intisari-online.com -Pemilihan Presiden AS yang berlangsung pada 3 November kemarin rupanya berpengaruh banyak kepada kondisi dunia.
Banyak warga AS yang gembira dengan kemenangan Joe Biden.
Namun di Hong Kong, warga justru berargumen apakah kekalahan Trump merupakan kekalahan bagi gerakan protes warga Hong Kong.
Banyak juga yang bertanya-tanya, apakah hal itu jadi kemenangan bagi proses demokrasi.
Trump sendiri telah sering muncul sebagai poster demonstrasi pro-demokrasi Hong Kong tahun lalu.
Banyak juga para demonstran yang mengibarkan bendera AS saat mereka lakukan protes di jalan.
Trump sendiri mencela protes serupa yang berlangsung di AS.
Selanjutnya banyak yang berharap mendukung AS akan menghasilkan sikap Trump secara politik mengatur kondisi Hong Kong.
Namun dengan dirinya sendiri sekarang kalah dan tidak lagi berkuasa atas Gedung Putih, banyak yang mulai ragu dengan kekuatan AS.
Biden diragukan oleh banyak orang mampu mengkonfrontasi China sekuat Trump.
Namun, banyak ahli yang mengatakan keraguan itu tidak berdasar.
Yun Jiang, direktur di China Policy Centre di Canberra dan editor China Story di Australian National University mengatakan kekhawatiran itu kurang tepat.
Biden mungkin memang akan sedikit lebih lembut daripada Trump, yang membuat beberapa orang tidak senang.
Namun Jiang mengatakan bukan berarti Biden tidak akan melawan China.
"Banyak pendukung Trump di Hong Kong, sama halnya di komunitas China lain di luar negara mereka yang melihat Trump sangat kuat meskipun sebenarnya Trump tidak melakukan apa-apa," paparnya dikutip dari Al Jazeera.
"Di bawah Biden, retorika Trump akan berubah dan tidak tampak mengkonfrontasi, tapi tetap saja pendekatan yang keras."
Pilpres AS memang datang di saat hubungan dua negara sedang sangat genting.
Beijing juga terapkan tekanan sangat kuat kepada Hong Kong, wilayah yang seharusnya mendapat kebebasan sipil dan politik sampai 2047 mendatang.
Dua negara juga mengalami isu yang berbeda mulai dari perdagangan, hak asasi manusia, virus Corona dan Taiwan.
Hubungan memburuk
Trump sendiri telah terapkan sanksi kepada pejabat penting di Hong Kong dan di China daratan.
Ia juga telah menandatangani Aksi Demokrasi dan HAM Hong Kong pada November 2019 lalu.
Ia lakukan itu 3 bulan sebelum ia menyebut protes tersebut sebagai kekacauan, sebuah gema menggambarkan kekacauan antara Beijing dan Hong Kong.
Sebutan Trump tersebut juga menunjukkan jika AS tidak akan terlibat dalam hubungan keduanya, sembari tambahkan "Hong Kong adalah bagian dari China, mereka harus hadapi masalah mereka sendiri."
Tindak tanduk Trump ini sedikit berbeda dengan sikapnya atas Taiwan, yang mendukung total Taiwan untuk merdeka.
Juli lalu, administrasinya terapkan sanksi kepada perusahaan pemerintah Xinjiang Production and Construction Corp, dan oknum yang diyakini terlibat dengan pelanggaran HAM di wilayah Xinjiang.
Namun sebelumnya ia mengatakan kepada media AS jika ia menunda sanksi atas Xinjiang untuk mencapai perjanjian perdagangan besar dengan China.
'Kepentingan nasional'
Sementara Biden belum merilis strategi rinci terhadap China, ia telah menyebutkan akan menjadikan pandemi sebagai prioritas dan akan fokus atas masalah pelanggaran HAM sebagai pendekatannya kepada China.
Kampanyenya yang menyebut perlakuan China kepada warga Muslim di Xinjiang sebagai aksi genosida.
Kontras dengan Trump yang tidak menjadikan pelanggaran HAM sebagai masalah utama, untuk administrasi Biden, HAM akan mendapatkan sorotan lebih banyak, seperti dijelaskan oleh Jiang.
Hal serupa disampaikan oleh Daniel Baer, rekan senior di Carnegie Endowment for International Peace yang sepakat jika Biden memang mengatakan demokrasi dan HAM sebagai fokus kebijakan luar negeri AS.
Jeffrey Wilson, direktur peneliti di lembaga penelitian Perth USAsia Centre, yakin Biden akan mengejar kepentingan nasional AS, daripada mengerucut kepada kepentingan Trump dalam pendekatannya kepada China.
Dalam hal ini, masalah HAM akan dilibatkan.
Sebagai hasilnya, Wilson yakin kebijakan Biden akan berganti dari perdagangan ke arah termasuk hak politik Partai Komunis China seperti di Xinjiang dan Hong Kong, serta isu ekonomi seperti mata-mata komersial dan keamanan ekosistem teknologi.
Kontras dengan Trump, Biden juga diharapkan mencoba menarik kembali dukungan sekutu lawas AS dalam menangani hubungan dengan China.
"Biden lebih fokus kepada upaya multilateral, contohnya, sehingga mereka dapat meningkatkan persekutuan dalam hal menghadapi atau melawan China," papar Jiang.
Wilson mengatakan agenda persekutuan Biden akan diterima oleh sekutu-sekutunya termasuk Australia, Jepang dan Korea Selatan.
Serta, rekan non sekutu seperti India dan negara di Asia Tenggara akan lebih menerima pendekatan Biden.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini